MasterV, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengambil langkah penting dengan mengeluarkan surat pencegahan ke luar negeri terhadap Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Kurniawan Lukminto (IKL). Tindakan ini diambil sebagai upaya untuk memfasilitasi proses pemeriksaan dalam penyidikan kasus yang sedang berlangsung.
"Pencegahan ini dilakukan untuk mempermudah penyidikan, mengingat sewaktu-waktu penyidik membutuhkan keterangannya," ungkap Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, kepada awak media pada Senin (9/6/2025).
Masa pencegahan Iwan Kurniawan Lukminto ke luar negeri berlaku mulai tanggal 19 Mei 2025 dan akan berlangsung selama 6 bulan ke depan. Penyidik berencana untuk kembali melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan pada pekan mendatang.
"Akan kami pastikan kembali jadwalnya," ujar Harli menambahkan.
Sebelumnya, Kejagung telah memberlakukan pencegahan ke luar negeri terhadap petinggi Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto. Pencegahan ini merupakan bagian dari upaya pengusutan kasus dugaan korupsi terkait penerimaan kredit dari PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat (BJB) dan Banten serta PT DKI Jakarta kepada PT Sritex Tbk.
Hal ini telah dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.
"Betul, IKL (Iwan Kurniawan Lukminto) telah dikenakan pencegahan ke luar negeri sejak 19 Mei 2025, yang berlaku selama 6 bulan ke depan," jelas Harli saat dikonfirmasi pada Sabtu (7/6/2025).
"Menurut informasi dari penyidik, pemeriksaan lanjutan terhadap yang bersangkutan akan dilakukan pada pekan depan," lanjutnya.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit kepada PT Sritex. Mereka adalah Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) Tahun 2020, Dicky Syahbandinata.
Selain itu, Direktur Utama PT Bank DKI Tahun 2020, Zainuddin Mappa, dan Direktur Utama PT Sritex Tahun 2005–2022, Iwan Setiawan Lukminto, juga ditetapkan sebagai tersangka.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa penyidik saat ini tengah mendalami aliran dana pembayaran kredit oleh petinggi PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto (ISL), untuk mengetahui apakah dana tersebut digunakan untuk kepentingan perusahaan atau pribadi.
"Justru hal inilah yang sedang kami dalami secara intensif, ke mana aliran penggunaan dana sebesar Rp692 miliar tersebut. Sehingga hal ini dikategorikan sebagai kerugian negara. Seperti yang kita ketahui, pemberian kredit ini seharusnya digunakan untuk modal kerja," terang Harli, seperti dikutip pada Sabtu (24/5/2025).
Fakta yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa tersangka Iwan Setiawan Lukminto menggunakan kredit tersebut untuk keperluan lain, termasuk pembayaran utang.
"Saat ini, penyidik sedang menyelidiki apakah pembayaran utang tersebut dilakukan untuk kepentingan perusahaan atau pribadi. Namun, bahkan jika pembayaran tersebut dilakukan untuk utang perusahaan, hal ini tetap tidak dibenarkan. Mengapa? Karena tindakan ini tidak sesuai dengan peruntukan yang telah disepakati dalam akad atau kontrak pemberian kredit, yang mana dana tersebut seharusnya digunakan untuk modal kerja," paparnya.
Selain itu, terdapat indikasi penggunaan dana untuk pembelian aset-aset yang tidak produktif bagi keberlangsungan kinerja perusahaan.
"Akibatnya, seperti yang kita saksikan saat ini, perusahaan mengalami pailit. Seandainya manajemen perusahaan baik dengan pemberian kredit yang signifikan, mungkin PT Sritex akan tetap menjadi perusahaan yang sehat," kata Harli.
Ia mengulas bahwa pada tahun 2020, PT Sritex mencatatkan keuntungan sebesar Rp1,8 triliun. Namun, pada tahun 2021, perusahaan justru mengalami kerugian sebesar Rp15 triliun lebih, yang merupakan deviasi signifikan dan menjadi titik awal bagi penyidik untuk melakukan analisis.
"Tentu saja, kami juga berharap dapat menemukan keterkaitan antara penggunaan dana yang tidak semestinya, termasuk dana dari pemberian kredit oleh berbagai bank. Karena dana tersebut tidak digunakan sesuai peruntukannya, perusahaan menjadi tidak sehat dan terpaksa melakukan PHK," tegas Harli.