Banyak pekerja dari kalangan menengah yang seringkali merasa penghasilan mereka pas-pasan. Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun terasa sulit untuk menabung atau membeli aset yang lebih besar agar bisa meningkatkan status ekonomi menjadi lebih sejahtera.
Eko Endarto, seorang Perencana Keuangan dari Finansia Consulting, menyarankan agar pekerja kelas menengah tidak hanya mengeluhkan gaji yang stagnan. Lebih baik, kata dia, mulailah mengatur pengeluaran agar lebih efektif dan efisien.
Menurutnya, selama ini banyak pekerja yang terlalu fokus pada peningkatan penghasilan, sementara jumlah pengeluaran juga terus membengkak. Akibatnya, sebesar apapun pendapatan yang diperoleh, tetap saja terasa tidak mencukupi.
“Kita perlu memahami prosesnya terlebih dahulu. Pasti ada uang yang masuk dan ada uang yang keluar. Jadi, intinya ada dua hal: apakah yang masuk perlu ditambah, atau yang keluar perlu dikurangi,” jelasnya kepada detikcom, Jumat (30/5/2025).
“Kebanyakan dari kita selalu berpikir bagaimana cara menambah penghasilan. Padahal, jika pengeluaran tidak diatur, seberapapun penambahan penghasilan akan sia-sia. Jadi, saran saya, cobalah kelola pengeluaran terlebih dahulu. Atur dengan baik,” lanjut Eko.
Berkaitan dengan cara mengelola pengeluaran, Eko menyarankan agar individu tersebut memilah pengeluaran mana saja yang bersifat wajib dan mana yang bisa ditunda. Contohnya, pengeluaran wajib meliputi pembayaran utang, pajak, atau pemenuhan kebutuhan primer.
Sementara itu, pengeluaran yang sebaiknya ditahan adalah pengeluaran yang sifatnya keinginan. Artinya, jika pekerja kelas menengah tidak memilikinya, mereka tetap tidak akan mengalami masalah yang berarti.
“Masalahnya, seringkali keinginan lebih besar daripada kebutuhan dan kewajiban. Itu yang menjadi persoalan. Katakanlah, misalnya, menonton film. Sekarang stasiun TV sudah banyak sekali. Sebenarnya tidak kurang hiburan jika hanya ingin menonton. Hanya saja, kita memilih untuk menggunakan Netflix, misalnya. Bukan berarti tidak boleh, tetapi jika kondisi keuangan kita sedang tidak memungkinkan, ya tidak harus, kan? Bisa ditahan dulu,” terang Eko.
Sejalan dengan Eko, Tejasari, seorang perencana keuangan dari Tatadana Consulting, juga berpendapat bahwa pekerja kelas menengah sebaiknya mengatur pengeluaran agar bisa lebih cepat mencapai kemapanan finansial. Setidaknya, hal ini akan mencegah uang cepat habis untuk hal-hal yang konsumtif.
“Sebenarnya, pilihan itu banyak tersedia di pasaran. Tinggal kita memilih yang sesuai dengan penghasilan. Tidak usah bergaya hidup di luar kemampuan hingga berutang. Lebih baik sesuaikan dengan kemampuan,” kata Tejasari.
Ia memberikan contoh mengenai kebutuhan transportasi. Jika seorang pekerja membutuhkan motor, sebaiknya membeli motor dengan harga yang sesuai dengan dana yang dimiliki, daripada memaksakan diri membeli motor yang lebih mahal dengan cara mencicil.
“Misalnya, kita punya uang Rp 5 juta. Kita bisa mendapatkan motor bekas, mungkin perlu sedikit tambahan. Tetapi, kita tidak mau mengeluarkan uang Rp 5 juta itu. Lebih baik uang itu dijadikan DP untuk membeli motor seharga Rp 25 juta. Artinya, sisanya harus dicicil. Cicilnya dari mana? Ya, dari gaji. Habis deh uang kita,” ucapnya.
“Padahal, jika kita membeli motor bekas yang seadanya, lalu uangnya kita tabung, kita bisa mengembangkan aset kita menjadi lebih bermanfaat daripada sekadar motor. Harga motor baru Rp 25 juta, tahun depan sudah turun menjadi Rp 20 juta, tahun berikutnya nilainya semakin berkurang,” sambung Tejasari.
Hal serupa berlaku untuk gaya hidup atau pilihan produk yang dibeli. Misalnya, dalam membeli produk rumah tangga atau kebutuhan sehari-hari, pekerja kelas menengah sebaiknya memilih produk atau merek yang lebih terjangkau daripada harus membeli merek tertentu hanya demi gengsi.
Untuk mengevaluasi apakah pengeluaran sudah efektif atau hanya untuk ‘gaya hidup’ semata, Tejasari menyarankan untuk membuat anggaran atau catatan kas pengeluaran harian. Dari situ, kita bisa melihat dengan lebih jelas pengeluaran mana saja yang sudah efektif dan mana yang masih ‘membengkak’.
“Jadi, caranya adalah dengan membuat semacam anggaran. Kita perlu menelusuri ke mana saja pengeluaran kita setiap bulannya. Kadang-kadang, kita bisa terkejut. ‘Wah, saya habis berapa juta hanya untuk makan,’ misalnya, atau hanya untuk berlangganan berbagai layanan. Ternyata ada banyak sekali yang kita subscribe. Mulai dari Netflix, dan lain sebagainya,” paparnya.
“Itu yang membuat kita jadi sulit untuk kaya. Karena apa? Karena cara berpikir kita membuat kita miskin sendiri. Coba kalau kita berpikir, ‘Ya sudahlah, seadanya dulu, karena dana darurat belum punya, belum punya investasi, ya sudah lah, pakai seadanya dulu.’ Sebenarnya, itu tidak masalah,” tegasnya.