Kemasan Rokok Polos: Lindungi Ekonomi Indonesia!

Admin

10/06/2025

4
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Hikmahanto Juwana, seorang Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), menyoroti desakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) agar Pemerintah Indonesia segera menerapkan standar kemasan polos (plain packaging) untuk semua produk tembakau dan nikotin sebelum dipasarkan.

“Indonesia kini menghadapi tekanan dari berbagai pihak untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ke dalam kebijakan domestik. Hal ini termasuk melalui regulasi turunan UU 17/2023 tentang Kesehatan, yaitu PP 28/2024, dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang salah satunya mengusulkan kebijakan kemasan polos tanpa identitas merek bagi produk rokok,” jelas Hikmahanto melalui keterangan tertulis, Senin (2/6/2025).

Beliau memberikan contoh pendekatan berbeda yang diambil oleh Amerika Serikat (AS), yang dikenal selektif dalam menyikapi perjanjian internasional.

Menurut pandangan Hikmahanto, meskipun aktif terlibat dalam pembentukan berbagai konvensi global, AS seringkali menolak untuk meratifikasi perjanjian jika dianggap tidak selaras dengan kepentingan nasionalnya.

“Indonesia perlu mencontoh Amerika Serikat yang memahami betul makna kedaulatan. Jika kepentingan nasional kita terganggu oleh perjanjian-perjanjian internasional, kita berhak untuk menyatakan tidak ikut serta,” tegasnya.

Hikmahanto berpendapat bahwa meskipun FCTC belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 2002, pengaruhnya dinilai telah meresap secara halus ke dalam sistem hukum nasional. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi intervensi pihak asing terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia.

“FCTC dianggap sebagai alat tekanan global terhadap negara-negara penghasil tembakau. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan ekosistem industri tembakau yang besar dan berakar kuat dalam sejarah serta budaya, secara konsisten menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut,” papar Hikmahanto.

Hikmahanto menambahkan bahwa sejak era Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, hingga Prabowo Subianto, para presiden telah berani mengambil langkah tegas dengan tidak meratifikasi FCTC.

“Keputusan ini kami pandang sebagai wujud nyata perlindungan terhadap kedaulatan nasional,” tegas Hikmahanto.

Sementara itu, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberlakukan kebijakan penyeragaman kemasan (plain packaging) rokok.

Menurutnya, hal ini dilakukan untuk melindungi industri rokok yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia melalui pajak dan cukai hasil tembakau (CHT).

“Kesepakatan ini tercapai setelah diskusi langsung dengan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono Harbuwono. Wamenkes bersikap terbuka dan hingga saat ini kami terus membahasnya, termasuk memastikan bahwa penyeragaman bungkus tidak akan terjadi,” jelas Faisol Riza.

Selanjutnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengkritisi potensi cacat formil dalam penyusunan PP 28/2024. Ia menyatakan bahwa jika terbukti kebijakan tersebut disusun tanpa partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), maka secara hukum peraturan tersebut dapat dibatalkan. “Jika terbukti PP 28/2024 dibuat tanpa partisipasi yang memadai, maka prosedurnya cacat. Akibatnya, dapat dibatalkan karena persyaratan formalnya tidak terpenuhi. Ini baru dari segi formalitas, belum membahas substansinya,” ujar Eddy Hiariej.

Eddy menyarankan agar pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh penerapan aturan tersebut mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA), baik secara materiil maupun formil.

“Secara substansi, PP 28/2024 dapat dibatalkan jika terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyatakan bahwa PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, mencapai Rp182,2 triliun, dan mempengaruhi 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait.

Menurutnya, PP 28/2024 mengadopsi kebijakan asing atau pengalaman negara lain tanpa mempertimbangkan konteks lokal di Indonesia. Dengan mengadopsi peraturan-peraturan global, keberadaan sejarah dan budaya lokal kretek terancam punah.

GAPPRI menyoroti ketentuan di Bagian XXI PP 28/2024 tentang Pengamanan Zat Adiktif Produk Tembakau. Beberapa pasal yang dianggap mengganggu usaha adalah Pasal 431 yang membatasi kadar nikotin dan tar, Pasal 432 yang melarang penggunaan bahan tambahan, dan Pasal 435 yang menyeragamkan desain kemasan dan berpotensi menyebabkan pelaku usaha bangkrut.

“Aturan pembatasan nikotin dan tar akan menyulitkan anggota GAPPRI untuk menyesuaikan ketentuan tersebut. Petani tembakau juga akan kesulitan memenuhi ketentuan karena rata-rata tembakau lokal memiliki kadar nikotin yang tinggi. Sementara itu, pembatasan bahan tambahan di Pasal 432 akan menghilangkan ciri khas produk kretek yang selama ini menjadikan bahan tambahan sebagai nilai lebih,” terang Henry Najoan.

GAPPRI juga mencatat bahwa kemasan rokok polos berpotensi mendorong downtrading (peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah) dan peralihan ke rokok yang tidak jelas asal-usul serta produsennya 2-3 kali lebih cepat dari sebelumnya. Permintaan produk legal juga diprediksi akan menurun sebesar 42,09%.

“Kondisi industri hasil tembakau legal saat ini memerlukan deregulasi. Pemerintah perlu meninjau ulang atau melakukan sinkronisasi peraturan yang ada sehingga memberikan rasa keadilan demi mencapai cita-cita kemandirian ekonomi nasional,” pungkas Henry Najoan.