JAKARTA, MasterV – Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti adanya perbedaan signifikan antara hasil investigasi internal yang dilakukan oleh TNI dan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait dengan ledakan amunisi di Garut.
Usman Hamid, anggota Koalisi dari Amnesty Internasional Indonesia, menyampaikan bahwa pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, yang menyebutkan bahwa keterlibatan sipil hanya sebatas urusan memasak, sangat bertentangan dengan temuan yang diungkapkan oleh Komnas HAM.
"Koalisi menyatakan kekecewaannya atas pernyataan Panglima TNI tersebut, yang secara tegas menafikan adanya keterlibatan warga sipil dalam proses pemusnahan amunisi yang sudah kedaluwarsa," tegas Usman dalam keterangan pers yang disampaikan pada Minggu (1/6/2025).
"Pernyataan ini memberikan indikasi yang kuat mengenai rendahnya tingkat objektivitas, integritas, dan kredibilitas dari penyelidikan internal yang dilakukan oleh TNI dalam menangani kasus ini," lanjutnya.
Setelah mengikuti rapat tertutup dengan DPR-RI pada Senin (26/5/2025), Agus menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada keterlibatan warga sipil dalam pemusnahan amunisi afkir yang terjadi di Garut, Jawa Barat, pada tanggal 12 Mei 2025.
Menurutnya, warga sipil yang berada di lokasi tersebut hanya berprofesi sebagai tukang masak dan pegawai yang bekerja di sekitar area tersebut.
Namun, Komnas HAM, pada tanggal 23 Mei 2025, merilis informasi yang berbeda, yaitu adanya 21 warga sipil yang terlibat secara langsung dalam proses pemusnahan amunisi tersebut.
Mereka dipekerjakan sebagai tenaga harian lepas dengan upah sebesar Rp 150.000 per hari, tanpa dilengkapi dengan sertifikasi yang memadai maupun alat pelindung diri yang standar.
"Berdasarkan perkembangan terbaru ini, kami dengan tegas menolak segala bentuk penyelidikan atas tragedi yang mematikan ini jika hanya dilakukan di lingkungan internal TNI," ujar Usman dengan nada prihatin.
Oleh karena itu, Koalisi kembali mendesak pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang independen untuk mengusut tuntas Tragedi Amunisi yang telah merenggut 13 nyawa, di mana sembilan di antaranya adalah warga sipil.
Usman menjelaskan bahwa Koalisi sejak awal telah menyerukan kepada Komisi I DPR untuk membentuk tim gabungan pencari fakta yang independen, yang melibatkan unsur dari luar TNI, guna menjamin objektivitas, integritas, dan kredibilitas dalam pengusutan tragedi yang memilukan ini.
"Namun, sayangnya, Komisi I DPR RI terkesan tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk sekadar mempertanyakan pengusutan kasus ini sesuai dengan asas-asas penyelidikan yang jujur, adil, dan benar," tambahnya dengan nada menyayangkan.
Koalisi meyakini bahwa tanpa adanya investigasi yang imparsial dan independen dari pihak eksternal TNI, tragedi Garut ini hanya akan semakin mempertegas masalah impunitas yang sudah mengakar kuat di dalam tubuh TNI.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menjelaskan bahwa korban warga sipil yang meninggal dunia dalam ledakan amunisi di Garut, Jawa Barat, adalah tukang masak dan pegawai yang bekerja di lokasi kejadian.
Penjelasan ini disampaikan oleh Agus sebagai tanggapan atas temuan Komnas HAM, yang mengungkap bahwa 21 orang dipekerjakan untuk membantu proses pemusnahan amunisi afkir TNI dengan upah rata-rata sebesar Rp 150.000 per hari.
"Sebenarnya, kami tidak melibatkan warga sipil dalam pemusnahan bahan peledak yang sudah kedaluwarsa. Keberadaan sipil di situ sebenarnya hanya sebagai tukang masak dan pegawai di area tersebut," ungkap Agus setelah mengikuti rapat tertutup di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (26/5/2025).
Sementara itu, temuan Komnas HAM menunjukkan bahwa warga sipil yang dilibatkan dalam pemusnahan amunisi afkir tersebut telah menjalin kerja sama dengan TNI/Polri selama kurang lebih 10 tahun.
Anggota Komnas HAM RI, Uli Parulian Sihombing, menjelaskan bahwa warga sipil yang bekerja ini hanya belajar secara otodidak dari warga sipil lainnya yang pernah melakukan pekerjaan pemusnahan amunisi sebelumnya.
"Para pekerja belajar secara otodidak selama bertahun-tahun, tanpa melalui proses pelatihan yang tersertifikasi secara resmi," kata Uli dalam konferensi pers yang diadakan di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, pada Jumat (23/5/2025).