JAKARTA, MasterV – Hetifah Sjaifuddin, selaku Ketua Komisi X DPR RI, berpendapat bahwa sekolah swasta yang menawarkan layanan pendidikan premium selayaknya dikecualikan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewajiban negara untuk mendanai pendidikan dasar tanpa adanya pungutan biaya.
Pernyataan ini dilontarkan oleh Hetifah sebagai respons terhadap putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
“Menurut pandangan kami, sekolah-sekolah swasta dengan karakteristik demikian idealnya dipisahkan atau dikecualikan dari penerapan aturan ini,” tegas Hetifah dalam program Obrolan News Room MasterV, Jumat (30/5/2025).
Hetifah menjelaskan bahwa sekolah-sekolah swasta tidak dapat digeneralisasi dalam satu kategori yang sama.
Terdapat sekolah swasta yang hadir untuk mengisi celah layanan pendidikan di wilayah-wilayah yang belum sepenuhnya terjangkau oleh pemerintah.
Namun demikian, sambung Hetifah, terdapat pula sekolah swasta yang secara spesifik menawarkan layanan pendidikan dan fasilitas dengan standar yang tinggi.
Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan biaya pendidikan di sekolah swasta menjadi relatif lebih tinggi.
“Ada sekolah-sekolah swasta yang kehadirannya murni karena keterbatasan pemerintah dalam menjangkau wilayah tersebut, sehingga mereka benar-benar mengisi kekosongan. Akan tetapi, ada juga sekolah swasta yang memberikan layanan premium atau layanan eksklusif,” ungkap Hetifah.
“Jika sekolah negeri mungkin tidak menggunakan AC, sekolah swasta menggunakan AC dan mungkin berbagai fasilitas lain yang menyebabkan sekolah swasta ini mengenakan iuran yang relatif lebih tinggi,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Hetifah, banyak orang tua yang dengan kesadaran penuh memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta premium, karena mereka menginginkan kualitas layanan yang berbeda.
“Jadi, bukan semata-mata karena tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri. Melainkan, karena mereka memang menginginkan pelayanan yang berbeda, yang bersifat premium atau eksklusif seperti yang telah disebutkan,” kata Hetifah.
Menurut Hetifah, kurang logis rasanya jika masyarakat yang secara sukarela memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta premium, juga mengharapkan agar seluruh biaya pendidikan mereka ditanggung oleh negara.
“Jadi, hal itu tentu tidak mungkin untuk direalisasikan (digratiskan),” tegasnya.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya".
Gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), yang kemudian dikabulkan oleh MK melalui putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan pada hari Selasa (27/5/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas hanya berlaku bagi sekolah negeri.
Hal ini tentu saja dapat menimbulkan kesenjangan dalam akses pendidikan dasar bagi peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah dasar swasta akibat terbatasnya kuota di sekolah negeri.
Oleh karena itu, frasa "tanpa memungut biaya" memang berpotensi menciptakan perbedaan perlakuan antara peserta didik di sekolah negeri dan swasta.
"Dalam konteks ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar yang diselenggarakan baik oleh pemerintah (negeri) maupun oleh masyarakat (swasta)," jelas Enny.
Enny menambahkan, salah satu aspek krusial dalam implementasi ketentuan tersebut adalah bahwa negara harus memastikan alokasi anggaran pendidikan dilakukan secara efektif dan berkeadilan.