Rumah Subsidi Makin Sempit? Ini Kata Konglomerat Properti!

Admin

18/06/2025

3
Min Read

On This Post

Draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang sedang dirancang, mengemban misi mulia untuk memperluas kesempatan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam mengakses hunian yang layak, khususnya mengingat keterbatasan lahan di wilayah perkotaan.

Secara lebih rinci, draf kebijakan ini mengusulkan adanya pengurangan luas tanah minimal untuk rumah subsidi, dari yang sebelumnya 60 meter persegi menjadi hanya 25 meter persegi. Sementara itu, luas bangunan minimal juga diusulkan untuk diturunkan dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi.

Kendati demikian, penting untuk dicatat bahwa luas maksimal rumah subsidi tidak mengalami perubahan. Artinya, luas tanah maksimum tetap berada di angka 200 meter persegi, dan luas lantai paling besar adalah 36 meter persegi.

Budiarsa Sastrawinata, selaku Managing Director PT Ciputra Development Tbk (CTRA), memberikan respons positif terhadap rencana ini.

Menurutnya, rancangan Keputusan Menteri PKP ini akan "memperluas dan memberi ruang gerak bagi pengembang untuk membangun rumah subsidi, di tengah kondisi lahan yang semakin terbatas serta harga yang semakin tinggi di perkotaan."

Selama ini, fenomena yang sering terjadi adalah lokasi rumah subsidi yang cenderung berada di pinggiran kota, bahkan di daerah pelosok, sebagai konsekuensi dari harga lahan yang mahal.

Kondisi ini seringkali membuat MBR kurang berminat untuk membeli, dikarenakan lokasinya yang jauh dari akses transportasi umum dan berbagai fasilitas penting.

Dengan adanya perubahan pada standar minimal ini, pengembang kini memiliki opsi yang lebih menarik, yaitu membangun rumah subsidi di lokasi yang lebih strategis dan dekat dengan pusat kota, meskipun dengan konsekuensi ukuran yang lebih kecil.

"Hal ini menjadi opsi bagi pengembang untuk membangun rumah subsidi di kota yang harga lahannya sudah mahal dan juga menjadi pilihan bagi konsumen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin berdomisili di kota," urai Budiarsa.

Budiarsa meyakini bahwa rumah dengan ukuran 18 meter persegi masih sangat layak untuk dijadikan tempat tinggal pertama bagi MBR yang baru memulai karirnya.

Ia pun optimis bahwa seiring dengan meningkatnya pendapatan, MBR tersebut akan beranjak ke hunian yang lebih luas.

Perlu digarisbawahi, bahwa draf kebijakan ini bersifat opsional, bukan sebuah kewajiban. Pengembang tetap memiliki kebebasan untuk membangun rumah dengan ukuran luas bangunan maksimal 36 meter persegi.

Hal ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi pengembang maupun MBR, untuk menentukan pilihan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing.

"Contohnya, di kota, harga rumah subsidi bisa mencapai Rp 150 juta dengan ukuran 18 meter persegi. Sementara itu, di pinggiran kota, harga rumah subsidi akan berbeda dengan ukuran yang lebih besar, yakni antara 21 meter persegi hingga 36 meter persegi. Ini memberikan pilihan kepada MBR. Jika mereka tidak menginginkan rumah subsidi dengan ukuran kecil, mereka bisa mencari opsi di pinggiran kota yang lebih besar," imbuh Budiarsa.

Harmonisasi Harga dan Optimisme Pemerintah

Selain itu, Budiarsa juga menaruh harapan agar pemerintah dapat menyesuaikan harga rumah subsidi untuk ukuran 18 meter persegi ini.

Saat ini, harga rumah subsidi tahun 2025 masih mengacu pada Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, yang menetapkan harga untuk luas bangunan antara 21-36 meter persegi, mulai dari Rp 166 juta hingga Rp 240 juta.

Penyesuaian harga untuk ukuran yang lebih minimalis diharapkan dapat membuat opsi ini menjadi semakin terjangkau bagi masyarakat.

Sementara itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, menegaskan bahwa prinsip utama dalam penyusunan draf peraturan ini adalah "untuk mendorong pembangunan rumah subsidi di kawasan perkotaan, di mana ketersediaan lahan sangat terbatas."

"Namun, tujuan saya sangatlah baik. Mengapa? Agar semakin banyak [masyarakat] yang bisa merasakan manfaatnya. Dan apakah ada kerugian bagi konsumen? Rasanya tidak ada. Mereka yang memilih rumahnya. Saya optimis peraturan ini sangat baik," tegas Maruarar.

Ia meyakini bahwa dengan desain yang apik, rumah subsidi, meskipun berukuran kecil, dapat dibangun secara vertikal (bertingkat) dan tetap memenuhi kebutuhan konsumen.

Pemerintah juga sangat terbuka terhadap berbagai masukan dalam proses pembahasan peraturan ini.