MasterV, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap fakta baru yang mencengangkan terkait kasus korupsi senilai Rp53 miliar dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) periode 2019-2024.
Menurut Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, hasil korupsi ini ternyata juga turut dinikmati oleh sejumlah pegawai di Direktorat Binaperta Kemenaker, termasuk untuk membiayai uang makan.
"Diperkirakan sekitar 8 miliar rupiah telah dinikmati bersama, baik untuk keperluan makan siang maupun kegiatan-kegiatan di luar anggaran," ungkap Budi kepada awak media pada Jumat (6/6/2025).
Tidak hanya para pegawai di Binaperta Kemenaker, dana haram tersebut bahkan sempat mengalir hingga ke petugas *office boy* (OB) dan beberapa staf pendukung lainnya yang bekerja sehari-hari, dengan total mencapai sekitar Rp5 miliar.
"Para OB serta staf lainnya yang membantu dalam pekerjaan sehari-hari di Binapenta, turut menerima bagian dan mereka telah mengembalikan dana sekitar Rp5 miliar," jelasnya.
Kronologi Kasus
Aksi korupsi ini telah berlangsung sejak tahun 2019 hingga 2024. Para tersangka diduga kuat telah melakukan pemerasan terhadap agen TKA saat mengurus dokumen RPTKA. Total dana yang berhasil dikumpulkan dari hasil pemerasan tersebut mencapai angka fantastis, yaitu Rp53,7 miliar.
Praktik korupsi dalam proses pengurusan RPTKA ini terindikasi dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Perlu diketahui, RPTKA sendiri merupakan dokumen krusial yang memungkinkan TKA untuk bekerja dan tinggal secara legal di Indonesia.
Modus pemerasan dimulai sejak awal proses pengajuan RPTKA oleh agen TKA di Direktorat PPTKA, yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemenaker.
Para tersangka diduga hanya memprioritaskan para pemohon yang bersedia menyetorkan sejumlah uang. Sementara itu, agen yang tidak memberikan uang pelicin akan mengalami berbagai hambatan dalam proses pengajuan mereka.
Bahkan, tak jarang pemohon yang datang langsung ke kantor Kemenaker diminta untuk memberikan ‘bantuan’ agar proses penerbitan RPTKA dapat dipercepat. Ironisnya, perusahaan yang terlambat menerbitkan RPTKA dapat dikenakan denda sebesar Rp1 juta.
Para pejabat tinggi seperti SH, HY, WP, dan DA diduga kuat memberikan perintah kepada para verifikator seperti PCW, ALF, dan JMS untuk memungut sejumlah uang dari para pemohon. Para pemohon yang telah menyetorkan dana akan diberikan jadwal wawancara identitas dan pekerjaan TKA yang akan dipekerjakan melalui Skype, dengan jadwal yang ditentukan secara manual.
Jumlah total uang yang berhasil dikumpulkan dalam rentang waktu 2019-2024 mencapai Rp53,7 miliar. Tidak hanya delapan tersangka yang menikmati hasil pemerasan tersebut, diperkirakan sekitar 85 pegawai di Direktorat PPTKA juga ikut menerima bagian sebesar Rp8,95 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengumumkan identitas para tersangka dalam kasus korupsi pengurusan perencanaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) periode 2019-2023.
Hingga saat ini, terdapat delapan orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Kedelapan orang tersebut adalah SH, HYT, WP, DA, GW, PCW, JS, dan AE.
"SH menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja," jelas Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Kemudian, tersangka HYT adalah Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang kemudian menjabat sebagai Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker. WP adalah Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Selanjutnya, DA adalah Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing Kemenaker.
"Saudara GW menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK Kemenaker," ujar Budi.
"Kemudian, tiga orang yang berada dalam satu sprindik (surat perintah penyidikan) adalah PCW, JS, dan AE. Mereka semua adalah staf di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing," imbuh Budi.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, SH menjabat sebagai Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker pada periode 2020–2023.
HYT saat ini adalah Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional. HYT pernah menjabat sebagai Direktur PPTKA Kemenaker pada periode 2019–2024, serta Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker pada periode 2024–2025.
Selanjutnya, Direktur PPTKA Kemenaker pada periode 2017–2019 adalah Wisnu Pramono (WP), dan Direktur PPTKA Kemenaker pada periode 2024–2025 adalah Devi Anggraeni (DA).
Kemudian, Koordinator Analisis dan PPTKA Kemenaker pada tahun 2021—2025 adalah Gatot Widiartono (GW), dan Petugas Saluran Siaga RPTKA pada tahun 2019—2024 serta verifikatur pengesahan RPTKA di Direktorat PPTKA Kemenaker pada tahun 2024—2025 adalah Putri Citra Wahyoe (PCW).
Terakhir, Analis TU Direktorat PPTKA pada tahun 2019—2024 dan Pengantar Kerja Ahli Pertama Direktorat PPTKA Kemenaker pada tahun 2024—2025 adalah Jamal Shodiqin (JS), serta Pengantar Kerja Ahli Muda Kemenaker pada tahun 2018—2025 adalah Alfa Eshad (AE).
Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) secara resmi telah mengajukan pencegahan ke luar negeri terhadap delapan pejabat di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) tahun 2019-2024.
"Maka, pada tanggal 04 Juni 2025, KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 883 Tahun 2025 tentang Larangan Bepergian ke Luar Negeri terhadap 8 (delapan) orang dengan inisial SUH (PNS), HAR (PNS), WP (PNS), GW (PNS), DA (PNS), PCW (PNS), JS (PNS) dan AE (PNS) terkait dengan perkara tersebut," jelas Plt Jubir KPK, Budi Prasetyo.
Budi menambahkan bahwa pencegahan ini dilakukan agar para tersangka bersikap kooperatif selama penyidik melakukan pengusutan kasus tersebut, terutama saat dilakukan pemanggilan untuk diperiksa.
Masa pencegahan ini berlaku selama enam bulan ke depan, atau hingga 4 Desember 2025, dan dapat diperpanjang kembali sesuai dengan kebutuhan penyidikan.
"Tindakan larangan bepergian ke luar negeri ini dilakukan oleh penyidik karena keberadaan yang bersangkutan di wilayah Indonesia sangat dibutuhkan dalam rangka proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Keputusan ini berlaku selama 6 (enam) bulan," terang Budi.
Sumber: Merdeka.com