10 Kota Tak Toleran 2024: Data & Fakta dari SETARA Institute

Admin

29/05/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – SETARA Institute baru-baru ini menerbitkan daftar yang memuat 10 kota dengan perolehan skor Indeks Kota Toleran (IKT) paling rendah, berdasarkan observasi yang dilakukan sepanjang tahun 2024.

Namun perlu dicatat, rendahnya capaian skor IKT ini bukan serta merta disebabkan oleh meningkatnya insiden intoleransi atau kejadian negatif lainnya.

“(Rendahnya skor) Juga dipicu oleh kurangnya fokus serta inovasi yang ditujukan untuk peningkatan toleransi di wilayah tersebut. Sementara itu, kota-kota (lain) telah aktif melakukan beragam inovasi dan terobosan dalam upaya memajukan toleransi,” jelas Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dalam keterangannya pada hari Selasa (27/5/2025).

Berikut adalah daftar 10 kota dengan skor IKT terendah selama tahun 2024:

1. Kota Parepare, Sulawesi Selatan, dengan skor 3,945. 2. Kota Cilegon, Banten, meraih skor 3,994. 3. Kota Lhokseumawe, Aceh, dengan skor 4,140. 4. Kota Banda Aceh, skor 4,202. 5. Pekanbaru, Riau, skor 4,320. 6. Bandar Lampung, skor 4,357. 7. Makassar, Sulawesi Selatan, mencatat skor 4,363. 8. Ternate, Maluku Utara, skor 4,370. 9. Kota Sabang, Aceh, dengan skor 4,377. 10. Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, skor 4,381.

Halili mengungkapkan bahwa dari tahun ke tahun, komposisi 10 kota dengan indeks toleransi terendah cenderung tidak mengalami perubahan signifikan.

Sebagai contoh, kota Pagar Alam dan Sabang, pada tahun 2023 juga menduduki peringkat 81 dan 85 dari total 94 kota yang menjadi fokus penelitian.

Di kedua kota ini, tidak ditemukan adanya kebijakan yang bersifat diskriminatif ataupun peristiwa intoleran yang mencolok.

Akan tetapi, di kedua kota ini, ekosistem toleransi yang solid belum sepenuhnya terwujud.

Hal ini tercermin, misalnya, dari visi toleransi dalam konteks pembangunan, implementasi kebijakan promotif toleransi, hingga kinerja pemerintah daerah yang belum secara nyata menunjukkan komitmen terhadap upaya pemajuan toleransi.

Sementara itu, stagnasi dalam pengembangan kebijakan dan kurangnya inisiatif untuk meningkatkan toleransi juga menjadi faktor penentu posisi kota-kota ini di peringkat bawah.

Ambil contoh kota Cilegon, Banda Aceh, Pekanbaru, dan Lhokseumawe, yang berdasarkan pantauan SETARA Institute, belum menunjukkan inovasi yang berarti dalam memajukan toleransi, baik melalui program maupun kebijakan yang konkret.

“Meskipun upaya terus dilakukan dan telah lama terjalin ruang-ruang komunikasi dialogis yang positif antaragama dan etnis, namun hal tersebut terkendala oleh kebijakan pemerintah kota,” imbuh Halili.

Terdapat delapan indikator utama yang menjadi pertimbangan dalam penilaian Indeks Kota Toleran tahun 2024 ini.

Indikator-indikator tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), kebijakan pemerintah kota yang berlaku, catatan peristiwa intoleransi, dinamika yang berkembang dalam masyarakat sipil, pernyataan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah kota, tindakan nyata yang diambil oleh pemerintah kota, tingkat heterogenitas agama, serta inklusi sosial keagamaan yang diterapkan.

Halili menjelaskan, Indeks Kota Toleran ini disusun berdasarkan analisis data yang diperoleh dari berbagai sumber, termasuk dokumen resmi pemerintah, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), data dari Komnas Perempuan, data Liputanku, serta referensi dari sejumlah media terpilih.

Proses pengumpulan data juga melibatkan penyebaran kuesioner *self-assessment* kepada seluruh pemerintah kota yang terlibat.

Adapun jumlah kota yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah sebanyak 94 kota dari total 98 kota yang ada di seluruh Indonesia.

Empat kota yang tidak disebutkan secara spesifik adalah kota administrasi yang berada di wilayah DKI Jakarta, yang penilaiannya digabungkan menjadi satu kesatuan, yaitu kota DKI Jakarta.