KPK Endus Pemerasan TKA Merajalela, Imigrasi Jadi Sorotan?

Admin

18/06/2025

2
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium aroma dugaan korupsi berupa pemerasan terhadap agen Tenaga Kerja Asing (TKA). Praktik ini, disinyalir tidak hanya terbatas di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), tetapi juga merambah hingga ke lingkungan imigrasi.

“Apakah KPK telah mengendus ke arah sana (imigrasi)? Hingga saat ini, kami memiliki indikasi yang mengarah ke sana,” ungkap Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, kepada awak media pada hari Sabtu (7/6).

Perlu diketahui, kasus korupsi yang terjadi di Kemenaker berpusat di Direktorat Binaperta selama periode 2019-2024. Nilai total “uang panas” yang berhasil dikumpulkan mencapai angka yang fantastis, yaitu Rp53,7 miliar.

KPK membuka kemungkinan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait dugaan praktik korupsi yang melibatkan pihak imigrasi. Pertanyaannya, mampukah KPK membongkar jaringan ini hingga ke akar-akarnya?

“Hal ini penting, karena mencakup pelayanan publik. Kami berharap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita benar-benar bersih dari hulu hingga hilir, sehingga dapat meningkatkan IPK kita secara signifikan,” tegas Budi.

Praktik korupsi dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) diduga dilakukan secara terorganisir dan sistematis. RPTKA sendiri merupakan dokumen krusial yang memungkinkan TKA untuk bekerja dan menetap di Indonesia secara legal.

Modus operandi pemerasan ini dimulai sejak awal proses pengurusan RPTKA oleh agen TKA di Direktorat PPTKA, yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemnaker. Bagaimana praktik ini bisa berjalan begitu lama?

Para tersangka diduga hanya memprioritaskan permohonan dari agen yang telah menyetorkan sejumlah uang. Sementara itu, agen yang tidak memberikan “uang pelicin” akan mengalami hambatan dalam proses pengurusan. Bahkan, tak jarang pemohon yang datang langsung ke kantor Kemenaker diminta untuk ‘dibantu’ agar proses RPTKA mereka dapat segera diselesaikan.

Perlu diingat, perusahaan yang terlambat menerbitkan RPTKA dapat dikenakan denda sebesar Rp1 juta. Apakah ini menjadi celah bagi praktik korupsi?

Para pejabat tinggi, seperti SH, HY, WP, dan DA, diduga kuat memberikan perintah kepada verifikator seperti PCW, ALF, dan JMS untuk melakukan pungutan liar dari para pemohon. Mengapa hal ini bisa terjadi di lingkungan pemerintahan?

Para pemohon yang telah menyetorkan sejumlah uang, kemudian diberikan jadwal wawancara identitas dan pekerjaan TKA yang akan dipekerjakan, melalui Skype dengan jadwal yang ditentukan secara manual. Sistem manual ini, rentan terhadap manipulasi.

Total dana yang berhasil dikumpulkan dalam kurun waktu 2019-2024 mencapai Rp53,7 miliar. Tidak hanya delapan tersangka yang menikmati hasil pemerasan tersebut, diperkirakan ada sekitar 85 pegawai di Direktorat PPTKA yang ikut menerima bagian sebesar Rp8,95 miliar. Ini adalah persoalan serius yang harus segera ditangani.

Sumber: Rahmat Baihaqi/Merdeka.com