KPK: Pemerasan Izin TKA Kemenaker Terjadi Sejak 2012

Admin

15/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa praktik pemerasan dalam pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah berlangsung sejak tahun 2012.

"Praktik koruptif ini tidak terbatas pada tahun 2019 saja. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan KPK, terungkap bahwa praktik ini telah dimulai sejak tahun 2012," jelas Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo, dalam konferensi pers yang diadakan di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada hari Kamis (5/6/2025).

Menyikapi kondisi tersebut, Budi menyatakan bahwa KPK akan memanggil dan meminta klarifikasi dari Menteri Tenaga Kerja periode sebelumnya. Langkah ini diambil untuk menggali informasi lebih dalam mengenai modus operandi pemerasan yang terjadi.

Menurutnya, modus pemerasan di Kemenaker ini dijalankan secara sistematis dan terstruktur, melibatkan berbagai tingkatan.

"Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, praktik ini melibatkan berbagai tingkatan, mulai dari Menteri HD (Hanif Dhakiri) hingga (Menaker) ID (Ida Fauziyah). Kami akan meminta klarifikasi dari para pejabat tersebut terkait praktik yang terjadi di bawah pengawasan mereka, mengingat secara manajerial, mereka bertanggung jawab sebagai pengawas," tegasnya.

KPK akan berupaya menggali informasi untuk mengetahui apakah Menteri Tenaga Kerja mengetahui adanya praktik pemerasan ini.

Budi menekankan bahwa upaya ini penting untuk memastikan pencegahan korupsi di Kemenaker dapat berjalan efektif.

"Upaya ini sangat penting untuk dilaksanakan agar pencegahan korupsi ke depan dapat berjalan selaras, dari tingkatan atas hingga bawah. Jika menterinya bersih, Insya Allah, bawahannya juga akan bersih," harapnya.

Sebelumnya, pada hari Kamis (5/6/2025), KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus pemerasan terkait pengurusan izin RPTKA di Kemenaker.

"Saya perlu menyampaikan bahwa pada tanggal 19 Mei 2025, KPK telah menetapkan delapan orang tersangka terkait tindak pidana korupsi yang telah saya sebutkan di atas," ungkap Budi Sukmo dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta.

Kedelapan tersangka tersebut adalah Suhartono (SH), mantan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK), dan Haryanto (HY), yang menjabat sebagai Dirjen Binapenta Kemenaker periode 2024-2025.

Selain itu, terdapat pula nama Wisnu Pramono (WP), Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemenaker tahun 2017-2019, Devi Angraeni (DA), Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan TKA, Gatot Widiartono (GTW), Kepala Sub Direktorat Maritim dan Pertanian di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, serta Putri Citra Wahyoe (PCW), Jamal Shodiqin (JMS), dan Alfa Eshad (ALF) yang berstatus sebagai staf.

KPK mengungkapkan bahwa para tersangka diduga telah menerima uang hasil pemerasan sebesar Rp 53,7 miliar dari para pemohon izin RPTKA selama periode 2019-2024.

Budi merinci jumlah uang yang diterima oleh masing-masing tersangka, antara lain Suhartono (Rp 460 juta), Haryanto (Rp 18 miliar), Wisnu Pramono (Rp 580 juta), Devi Angraeni (Rp 2,3 miliar), Gatot Widiartono (Rp 6,3 miliar), Putri Citra Wahyoe (Rp 13,9 miliar), Alfa Eshad (Rp 1,8 miliar), dan Jamal Shodiqin (Rp 1,1 miliar).

Sebagian dari uang haram tersebut, menurutnya, digunakan untuk biaya makan 85 orang staf di Dirjen Binapenta Kemenaker sebesar Rp 8,94 miliar.

"Dana tersebut dinikmati untuk makan siang dan kegiatan-kegiatan non-budgeter lainnya," jelasnya.

Budi menambahkan bahwa para staf, termasuk petugas kebersihan yang bekerja di Dirjen Binapenta, juga turut menikmati uang hasil pemerasan dengan total Rp 5,4 miliar.

Namun, uang senilai Rp 5,4 miliar tersebut telah dikembalikan ke kas negara.