KPK Duga Pungli TKA Tak Hanya di Kemenaker? Imigrasi Diduga!

Admin

17/06/2025

3
Min Read

“`html

JAKARTA, MasterV – Dugaan pemerasan terkait pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) tampaknya tidak terbatas hanya pada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencurigai bahwa praktik serupa juga mungkin terjadi di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas).

“Apakah KPK sudah meninjau kemungkinan ini di Imigrasi? Perlu saya sampaikan bahwa dugaan kami sejalan dengan informasi yang beredar, yaitu praktik ini tidak eksklusif hanya di Kemnaker,” ujar Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo, kepada awak media pada hari Jumat (6/6/2025).

Kelanjutan Proses di Imigrasi

Budi menjelaskan bahwa setelah izin RPTKA diterbitkan oleh Kemnaker, terdapat serangkaian izin lain yang perlu diurus agar Tenaga Kerja Asing (TKA) dapat tinggal dan bekerja secara sah di Indonesia.

Kedua izin ini wajib diurus di bagian Imigrasi. Selanjutnya, kedua surat izin tersebut menjadi keharusan bagi TKA yang ingin bekerja secara legal di wilayah Indonesia.

“Sebab, kepemilikan RPTKA saja belum cukup, ada proses lanjutan berupa penerbitan izin bagi TKA yang dilakukan oleh pihak Imigrasi,” imbuh Budi.

Kendati demikian, saat ini penyidik KPK terus menggali lebih dalam kasus korupsi yang diduga telah berlangsung sejak tahun 2012 ini.

Tanggapan Kementerian Imipas

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Jenderal Polisi (Purn) Agus Andrianto menegaskan dukungannya terhadap upaya penyidik KPK dalam mengungkap kasus korupsi ini secara tuntas.

"Tentu saja, kami mendukung penuh proses yang sedang berjalan," tegas Agus saat dihubungi Liputanku pada hari Jumat.

Agus berpendapat bahwa tindakan KPK ini akan menjadi momentum penting bagi Kementerian untuk memperbaiki aspek-aspek imigrasi yang masih memerlukan pembenahan.

Konstruksi Kasus

Hingga saat ini, KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka atas dugaan pemerasan dan gratifikasi terhadap calon TKA.

Para tersangka tersebut adalah mantan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Suhartono (SH); Dirjen Binapenta Kemenaker periode 2024-2025 Haryanto (HY); Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemenaker tahun 2017-2019 Wisnu Pramono (WP).

Selanjutnya, Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan TKA Devi Anggraeni (DA); Kepala Sub Direktorat Maritim dan Pertanian di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Gatot Widiartono (GTW); serta staf bernama Putri Citra Wahyoe (PCW), Jamal Shodiqin (JMS), dan Alfa Eshad (ALF).

Secara keseluruhan, para pelaku diduga telah mengantongi uang hasil pemerasan senilai Rp 53,7 miliar.

KPK menyatakan bahwa para tersangka memiliki peran masing-masing dalam melakukan pemerasan terhadap para korban.

Dalam proses penerbitan izin RPTKA, tiga staf Kemenaker, yaitu Putri, Alfa, dan Jamal, meminta sejumlah uang kepada pemohon dengan iming-iming persetujuan dan penerbitan dokumen RPTKA.

Permintaan sejumlah uang tersebut didasari atas perintah dari Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Angraeni.

Sebenarnya, proses permohonan RPTKA dilakukan secara daring. Namun, staf Kemnaker mendapatkan akses ke nomor WhatsApp calon TKA untuk meminta kelengkapan berkas yang diperlukan.

Inilah yang menjadi celah bagi Putri, Alfa, dan Jamal untuk meminta sejumlah uang kepada calon TKA.

Apabila uang tidak disetorkan, calon TKA tidak akan diberi tahu mengenai berkas-berkas yang dibutuhkan. Akibatnya, proses penerbitan izin pun sengaja diperlambat.

Karena tidak ada perkembangan melalui sistem daring, calon TKA terpaksa mendatangi kantor Kemnaker dan bertemu langsung dengan petugas.

Pada pertemuan inilah, ketiga staf Kemenaker menawarkan bantuan untuk mempercepat proses pengesahan RPTKA dengan imbalan sejumlah uang.

Budi menjelaskan bahwa apabila RPTKA tidak diterbitkan, maka penerbitan izin kerja dan izin tinggal TKA akan mengalami kendala.

Kondisi ini, lanjutnya, dapat menyebabkan TKA dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000 per hari.

Untuk menghindari denda tersebut, calon TKA kembali menghubungi para tersangka dan semakin terjerat dalam praktik pemerasan ini.

“`