KPR Bunga Floating Naik? Ini Solusi Ampuh Bagi Pejuang KPR

Admin

20/06/2025

4
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Para pejuang Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kini menghadapi tantangan yang tidak ringan, yaitu membayar angsuran di tengah kondisi bunga yang mengambang (floating) serta tren suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) yang masih bertahan tinggi.

Saat ini, suku bunga BI tercatat berada pada angka 5,50 persen, setelah mengalami sedikit penurunan sebesar 25 basis poin sejak tanggal 21 Mei 2025.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Etika Karyani Suwondo, menyampaikan bahwa tingginya BI rate memiliki dampak yang signifikan, yaitu membuat cicilan KPR melonjak dengan tajam, terutama bagi mereka yang mengambil kredit dengan skema bunga floating.

"Cicilan KPR mengalami kenaikan hingga 13 persen. Akibatnya, para pejuang KPR atau debitur merasa sangat kesulitan untuk membayar angsuran setiap bulannya," jelas Etika kepada MasterV, Senin (9/6/2025).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mengakui adanya potensi risiko kredit bermasalah atau *non-performing loan* (NPL) pada sektor KPR, khususnya yang ditujukan kepada debitur dari kalangan menengah ke bawah.

Data dari OJK menunjukkan bahwa per Maret 2025, rasio NPL KPR mengalami peningkatan menjadi 2,93 persen, dibandingkan dengan 2,49 persen pada periode yang sama di tahun 2024.

Walaupun rasio NPL KPR masih berada di bawah batas aman 5 persen, OJK tetap berpendapat bahwa lonjakan tersebut perlu mendapatkan perhatian serius.

Lantas, solusi apa yang sebaiknya diambil oleh para pejuang KPR dalam menghadapi situasi ini?

Salah satu strategi yang direkomendasikan adalah pengelolaan arus kas (*cash flow management*) yang cermat.

Para debitur diharapkan untuk lebih disiplin dalam mengatur pemasukan serta pengeluaran keuangan mereka, misalnya dengan menyisihkan dana lebih khusus untuk membayar cicilan KPR dan mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan yang kurang mendesak.

Etika menambahkan bahwa penting bagi para debitur untuk mencari sumber penghasilan tambahan.

"Debitur perlu secara konsisten menjaga arus kas, misalnya dengan mengalokasikan dana lebih untuk cicilan dan menekan pengeluaran tersier. Jika memungkinkan, carilah tambahan pendapatan agar pembayaran KPR tetap berjalan dengan lancar," ungkapnya.

Selain itu, debitur juga dianjurkan untuk mempersiapkan dana darurat sebagai langkah antisipasi.

Dengan memiliki dana darurat, para pejuang KPR akan memiliki cadangan keuangan yang dapat digunakan untuk membayar cicilan KPR ketika menghadapi situasi yang sulit.

Dalam kondisi tertentu, debitur dapat mencoba mengajukan keringanan bunga KPR melalui proses negosiasi dengan pihak bank.

Langkah ini dapat diambil apabila debitur mengalami masalah internal dan di saat yang bersamaan terjadi kenaikan bunga.

Etika menjelaskan bahwa debitur dapat mengajukan restrukturisasi dengan cara memperpanjang tenor atau masa cicilan, serta mengajukan permohonan penurunan suku bunga sementara, tentu saja setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan.

Persyaratan tersebut meliputi bukti adanya kesulitan keuangan, seperti kehilangan pekerjaan atau menderita sakit yang berkepanjangan, serta memiliki catatan atau riwayat kredit yang baik.

"Langkah proaktif lainnya adalah dengan melunasi sebagian pokok pinjaman ketika ada dana lebih, misalnya dari bonus atau tabungan, dengan tujuan agar beban bunga menjadi lebih ringan dan cicilan bulanan tetap terjangkau," jelasnya lebih lanjut.

Strategi lain yang patut dipertimbangkan adalah melakukan *take over* bank atau memindahkan pinjaman KPR ke bank yang berbeda.

Tindakan ini umumnya dilakukan oleh individu yang berkeinginan untuk mendapatkan tingkat bunga yang lebih rendah dari bank sebelumnya.

Debitur disarankan untuk melakukan perbandingan suku bunga efektif serta tenor *fixed* di antara berbagai bank, dan juga memperhatikan biaya yang terkait dengan proses pindah serta promo-promo yang mungkin tersedia.

"Pastikan bahwa skema yang baru benar-benar dapat mengurangi beban, dan bukan hanya sekadar berpindah dengan menimbulkan biaya tambahan. Bank yang memiliki fokus pada KPR, seperti BTN atau bank syariah, seringkali menawarkan bunga yang lebih rendah dan cicilan yang lebih stabil," kata Etika.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, berpendapat bahwa *take over* bank dapat menjadi opsi yang menarik bagi nasabah KPR yang memiliki reputasi kredit yang baik. "Namun, apabila kualitas kreditnya buruk, misalnya menunggak selama 6 bulan atau bahkan gagal bayar, tidak ada bank yang bersedia menjadi penampung," tegas Tauhid.

Tauhid juga berpendapat bahwa KPR dengan skema *floating* memang cenderung memberatkan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah.

Menurutnya, solusi untuk mengatasi masalah *backlog* rumah adalah dengan memperkuat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). "Memang jika menggunakan model *floating*, hal itu secara otomatis akan terasa berat bagi masyarakat, terutama yang berada di lapisan bawah. Sebaiknya menerapkan skema yang lebih terstruktur, seperti memberikan FLPP atau subsidi bunga," pungkasnya.