Paket stimulus ekonomi yang digulirkan pemerintah dianggap belum menyentuh aspek-aspek fundamental. Salah satu contohnya adalah kurangnya upaya untuk menekan pengeluaran masyarakat melalui insentif pajak yang tepat sasaran.
Pasalnya, stimulus yang digulirkan pemerintah cenderung bersifat konsumtif. Menurut pengamat ekonomi, Yanuar Rizki, upaya untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga haruslah sejalan dengan stabilitas harga barang. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya insentif pajak yang ditujukan secara spesifik pada barang-barang konsumsi rumah tangga.
"Artinya, jika kita ingin mendongkrak daya beli saat ini, kita harus mengidentifikasi transaksi yang dilakukan dari kelas menengah ke kelas di bawahnya. Barang-barang inilah yang seharusnya diberikan insentif, sehingga tercipta daya beli," jelas Yanuar saat dihubungi oleh detikcom pada hari Selasa (3/6/2025).
Yanuar berpendapat bahwa pemerintah perlu memperluas jangkauan Bantuan Subsidi Upah (BSU). Hal ini disebabkan oleh banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di kalangan kelas menengah. Ia mengusulkan agar pemerintah menerapkan universal transfer atau memberikan BSU kepada kelas menengah yang terkena dampak PHK.
Di sisi lain, penurunan angka pengangguran yang terjadi bersamaan dengan peningkatan angka PHK mengindikasikan adanya pergeseran lapangan kerja dari sektor formal ke sektor informal. Yanuar menekankan bahwa BSU juga perlu menjangkau para pekerja di sektor informal.
"Jadi, jika kita ingin memberikan subsidi konsumsi, idealnya subsidi tersebut diberikan baik kepada harga barang konsumsi maupun kepada masyarakat yang bekerja di sektor informal," kata Yanuar.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, berpendapat bahwa pemerintah perlu menghadirkan stimulus yang berkelanjutan, serta mendorong efisiensi dan produktivitas ekonomi. Stimulus yang bersifat konsumtif dinilai sebagai pemborosan APBN.
Sebagai informasi tambahan, Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 24,44 triliun untuk paket stimulus ekonomi pada periode Juni-Juli 2025. Sebagian besar anggaran tersebut berasal dari APBN, yaitu sebesar Rp 23,59 triliun, sementara Rp 85 miliar berasal dari non-APBN.
"Kelima stimulus ini bersifat konsumtif. Jika insentif dihentikan, maka pertumbuhan ekonomi akan melambat. Selain boros APBN, stimulus ini juga tidak berkelanjutan," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah juga perlu menghadirkan stimulus yang dapat menekan pengeluaran masyarakat dengan menghadirkan kebijakan yang berkelanjutan, efisien, dan mampu meningkatkan daya saing industri, seperti insentif yang mendorong terciptanya aktivitas ekonomi baru.
"Diperlukan insentif yang dapat memicu aktivitas ekonomi baru dan meningkatkan daya saing ekonomi, misalnya proyek padat karya PU, dukungan yang lebih besar untuk subsidi KPR rumah sederhana, relaksasi rasional efisiensi perjalanan dinas dan meeting, serta insentif untuk nelayan dan petani. Stimulus-stimulus ini berkelanjutan dan akan tetap berjalan meskipun insentif diakhiri," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menjelaskan bahwa paket stimulus tersebut hanya bersifat sementara dan tidak mencakup unsur-unsur fundamental. Bahkan, ia berpendapat bahwa stimulus ini belum cukup untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
"Akibatnya, setelah paket stimulus selesai, dikhawatirkan dampaknya terhadap konsumsi akan kembali turun, kembali ke posisi sebelum stimulus diberikan. Artinya, ini bersifat sementara dan tidak mendasar dalam mengangkat daya beli secara permanen," terangnya.
"Jika hanya melihat pada paket stimulus tadi, dampaknya menurut saya belum bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke 5%. Masih di bawah 5%, jika berdasarkan proyeksi CORE, untuk tahun ini maksimal di 4,8%," terangnya.