JAKARTA, Liputanku – Sebuah insiden lift yang mengalami gangguan di lantai 99 sebuah gedung pencakar langit di Jakarta pada hari Sabtu (7/6/2025) memicu perhatian serius mengenai standar keamanan bangunan, yang hingga saat ini belum sepenuhnya beroperasi untuk umum.
Walaupun insiden tersebut mengakibatkan beberapa pengunjung terperangkap selama lebih dari 40 menit, pihak pengelola memutuskan untuk melanjutkan pengoperasian dua dari tiga lift tanpa adanya penangguhan sementara.
Salah seorang korban, seorang *influencer* bernama Ryan Goutama, menyatakan kekecewaannya terhadap respons pengelola yang dirasa kurang menunjukkan kepekaan setelah kejadian.
“Kami masih terduduk lemas di lorong, tetapi mereka bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tetap tersenyum, tetap mengarahkan pengunjung ke dua lift lainnya,” ungkap Ryan kepada Liputanku, Selasa (10/6/2025).
Ryan hadir sebagai undangan untuk mempromosikan observatorium yang terletak di lantai 100 gedung tersebut, yang berlokasi di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Bersama dengan empat orang rekannya, ia mengikuti instruksi panitia untuk menggunakan lift dengan pengalaman *immersive* LED, yang menjadi salah satu daya tarik utama gedung.
“Kami adalah rombongan pertama yang menggunakan lift itu pada hari itu, dengan total 16 orang,” jelasnya.
Akan tetapi, ketika lift mencapai lantai 99, pintu hanya terbuka sekitar dua sentimeter sebelum kemudian menutup kembali dan mengalami kerusakan teknis.
Para penumpang pun terjebak di dalam lift selama kurang lebih 40 menit tanpa adanya pendingin udara.
“Beberapa orang mulai merasa sesak napas, termasuk saya dan teman saya yang memiliki riwayat asma,” ujar Ryan.
Di dalam lift tersebut terdapat dua orang petugas gedung, salah satunya adalah anggota keamanan. Ryan sempat menanyakan apakah insiden serupa pernah terjadi sebelumnya.
“Ternyata menurutnya ini adalah kejadian yang kedua. Sebelumnya juga pernah mengalami gangguan, namun katanya sudah diperbaiki,” terangnya.
Hal yang membuat Ryan merasa kecewa bukan hanya gangguan teknisnya, melainkan juga kurangnya empati dari pihak pengelola.
“Setelah keluar dari lift, kami memang ditawari minuman dan oksigen, tetapi hal itu pun tidak cukup untuk meredakan rasa panik kami,” katanya.
“Ketika kami menolak untuk menggunakan lift lagi untuk turun, kami malah ditawari kompensasi tanpa menanyakan kondisi kami. Hal itu membuat saya semakin kesal,” lanjutnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Renti Amel, yang juga berada di dalam lift pada saat insiden terjadi. Ia menilai bahwa penanganan dari pihak pengelola tidak mencerminkan kesiapan dalam menghadapi situasi darurat.
“Tim *engineering* baru tiba setelah 30 menit. Tidak ada yang siaga di lantai atas. Untungnya semua tetap tenang, karena kami khawatir lift akan jatuh,” ujar Renti.
Ia menampik tuduhan bahwa kejadian ini sengaja dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran.
“Strategi pemasaran dari mana? Kami saja jengkel dengan mereka. Mana ada orang yang mau pura-pura terjebak di lift demi konten?” tegasnya.
Sampai berita ini diturunkan, Liputanku masih berusaha menghubungi pihak manajemen gedung untuk meminta klarifikasi dan tanggapan resmi terkait insiden tersebut.