JAKARTA, MasterV – Pemerintah telah mengambil keputusan penting, yaitu membatalkan rencana awal untuk memberikan diskon tarif listrik. Sebagai kompensasi, pemerintah memilih untuk meningkatkan alokasi dana bagi Bantuan Subsidi Upah (BSU) tahun 2025.
Akan tetapi, keputusan ini justru menimbulkan diskusi hangat. Pertanyaan yang muncul adalah, seberapa efektifkah kebijakan dari kelima paket stimulus yang digelontorkan pemerintah pada bulan Juni-Juli 2025 dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2025 mencapai target 5 persen?
Diskon Listrik Dibatalkan, BSU 2025 Justru Ditingkatkan
Sebagai informasi awal, rencana pemberian diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan PLN dengan daya 1.300 VA atau di bawahnya, awalnya diumumkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai bagian tak terpisahkan dari paket stimulus Kuartal II 2025.
Namun, perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan klarifikasi, menyatakan bahwa rencana diskon tarif listrik tidak akan diberlakukan kembali pada Juni-Juli 2025.
Pada akhirnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi membatalkan rencana diskon tarif listrik untuk periode Juni-Juli 2025. Alasan yang dikemukakan adalah alokasi anggaran untuk kompensasi kepada PT PLN (Persero) belum sepenuhnya siap.
Sebagai solusi alternatif, pemerintah memutuskan untuk menggandakan besaran BSU 2025. Jika sebelumnya BSU ditetapkan sebesar Rp 300.000 untuk periode Juni-Juli 2025, kini ditingkatkan menjadi Rp 600.000.
BSU 2025 versus Diskon Tarif Listrik: Mana yang Lebih Efektif?
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berpendapat bahwa cakupan penerima BSU 2025 cenderung lebih terbatas dibandingkan dengan diskon tarif listrik 50 persen.
Alasannya, BSU 2025 hanya diperuntukkan bagi pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan, yang dapat diartikan sebagai masyarakat kelas menengah ke bawah.
Hal ini berbeda dengan diskon tarif listrik, yang tetap dapat dinikmati oleh masyarakat kelas menengah yang menggunakan daya listrik 900 VA dan 1.300 VA.
Selain itu, data penerima BSU diambil dari data peserta BPJS Ketenagakerjaan. Akibatnya, pekerja informal seperti pengemudi ojek online (ojol) dan kurir, yang sebenarnya sangat rentan terhadap dampak ekonomi, tidak dapat merasakan manfaat dari insentif ini.
"BSU cenderung memihak kelompok pekerja formal yang datanya bersumber dari BPJS Ketenagakerjaan. Ojol dan kurir tidak mendapatkan apa pun dari stimulus yang ada saat ini," kata Bhima kepada Liputanku, dikutip Minggu (8/6/2025).
Oleh karena itu, Bhima berpendapat bahwa diskon tarif listrik sebenarnya lebih efektif dalam mendorong konsumsi masyarakat menengah dan bawah yang sedang mengalami penurunan daya beli.
"Bahkan, diskon listrik seharusnya tetap ada sebagai komplementer atau pelengkap BSU. Mengapa demikian? Karena penerima diskon tarif listrik mencakup banyak pekerja informal dan UMKM," tambahnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi.
Menurutnya, pemerintah merasa bahwa penyaluran BSU 2025 lebih mudah dikendalikan secara fiskal karena langsung menyasar penerima manfaat dan penyalurannya dapat dilakukan lebih cepat.
Hal ini berbeda dengan penyaluran diskon tarif listrik, yang skema perhitungannya bervariasi tergantung pada daya listrik yang terpasang di setiap rumah tangga. Akibatnya, kebutuhan anggarannya menjadi lebih sulit diprediksi.
"Dalam konteks efisiensi anggaran, BSU bisa lebih hemat dan terukur karena datanya lebih presisi dan penyalurannya lebih fleksibel dibandingkan intervensi harga," jelas Syafruddin kepada Liputanku, dikutip Minggu.
Namun, perlu diingat bahwa diskon tarif listrik bersifat universal untuk pelanggan tertentu dan cenderung regresif karena tidak hanya dinikmati oleh kelompok miskin, tetapi juga oleh rumah tangga menengah.
Sementara itu, efektivitas BSU 2025 terhadap perekonomian tetap bergantung pada skala penerima, kecepatan distribusi, dan kemampuannya dalam mendorong konsumsi.
"Jika BSU hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa mendorong aktivitas ekonomi produktif, maka *multiplier effect*-nya akan terbatas," jelasnya.
Terlepas dari keuntungan dan kerugian penerapan BSU atau diskon tarif listrik, Syafruddin menyayangkan keputusan mendadak pemerintah yang membatalkan diskon tarif listrik.
Sebab, pembatalan diskon listrik berpotensi mengurangi daya beli sebagian rumah tangga berpenghasilan tetap yang tidak termasuk dalam kategori penerima BSU 2025.
"Perencanaan dan penyasaran kebijakan seharusnya dilakukan lebih matang sejak awal, bukan direvisi di tengah jalan," tuturnya.
Menurutnya, pembatalan diskon tarif listrik dan penggantiannya dengan peningkatan BSU 2025 dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah.