MasterV, Jakarta – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyoroti sebuah fenomena yang kian merebak di era digital ini: pemanfaatan grup WhatsApp (WA) sebagai sarana komunikasi sosial.
Beliau menekankan, media sosial, yang seharusnya menjadi platform untuk mempererat tali persaudaraan, justru seringkali berubah menjadi medan pertempuran verbal.
"Saat ini, orang-orang membuat grup-grup WA, misalnya. Semangat awal dari grup WA tersebut adalah untuk membangun komunikasi yang baik di antara para anggotanya," ujar Abdul Mu'ti di Semarang, Minggu (8/6/2025).
Mu'ti menjelaskan, meskipun tujuan awalnya adalah untuk mempererat komunikasi antar anggota, realitasnya seringkali berbanding terbalik ketika muncul perbedaan pendapat.
"Ketika ada seorang anggota grup yang memiliki pandangan berbeda dengan anggota grup lainnya, ia kemudian diserang habis-habisan oleh admin dan anggota grup tersebut. Bahkan, ia bisa dikeluarkan dari grup," ungkap beliau.
Menurutnya, alih-alih membangun harmoni sosial, media sosial justru kerap kali memperlihatkan sisi anti-sosial dari masyarakat digital.
"Sehingga, media sosial yang diharapkan dapat membangun kerukunan sosial, justru memunculkan sikap asosial," pungkasnya.
Selain itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti juga menyinggung mengenai merebaknya perilaku narsistik di tengah masyarakat. Beliau mengamati bahwa banyak individu cenderung mengunggah konten ke media sosial hanya demi menjadi viral.
"Ada apa yang saya sebut sebagai virality virus atau virus viralitas. Di mana orang itu ingin menjadi viral, ingin menjadi terkenal," kata Abdul Mu'ti di Semarang, Minggu (8/6/2025).
Dalam konteks ini, beliau merujuk pada istilah dari dr. Jean Twenge yang disebut sebagai narcissism epidemic. "Atau epidemi narsisme, di mana orang sedikit-sedikit upload. Sedikit-sedikit kok upload, kira-kira begitu," ucapnya.
Mu'ti menyampaikan, terkadang orang lebih mengutamakan viralitas semata. Pertimbangan mengenai kesesuaian dengan moral menjadi prioritas yang kesekian.
"Yang kadang-kadang, bagi sebagian orang, yang terpenting adalah viral. Soal itu sesuai dengan moral atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting viral dulu," ucapnya.
"Bahkan, sekarang muncul adagium yang menurut saya perlu kita kritisi. Adagium tersebut berbunyi no viral no justice. Kalau tidak viral, tidak ada tindakan, tidak ada keadilan," pungkasnya.
Sumber: Merdeka.com.