MasterV, Jakarta. Di kampung halamannya, Magetan, sapi bukan hanya sekadar hewan ternak, melainkan dianggap sebagai rojokoyo, sebuah simbol kemakmuran dan kemapanan. Namun, bagi Misran di Jakarta, sapi adalah sumber penghidupan utama.
MasterV, Jakarta. Di Magetan, tempat asalnya, sapi memiliki makna lebih dari sekadar ternak; ia adalah rojokoyo, representasi dari kemakmuran dan kestabilan ekonomi. Sementara di Jakarta, bagi Misran, sapi menjadi tulang punggung ekonominya.
Sejak tahun 2014, Misran telah membuka lapak hewan kurban yang berlokasi di Jalan Moh. Kahfi 1, Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Usahanya ini ia beri nama “Lembu Gajah”.
"Saya merintis usaha ini sejak 2014. Namun, sejak kecil di kampung, saya sudah diajarkan oleh ayah saya untuk memelihara sapi. Hanya saja, saat itu belum dipasarkan ke Jakarta. Baru pada tahun 2014 kami mulai memasarkannya ke Jakarta," ujar Misran memulai percakapan dengan Liputanku, Kamis (29/5/2025).
"Di sini, bahkan sejak awal April, sudah mulai ada pembelian. Mulai dari teman-teman, relasi, hingga pelanggan lama, mereka sudah mulai memesan," lanjutnya.
Setiap tahun, Misran dengan antusias menyambut para pembeli hewan kurban tanpa pernah absen. Area lapaknya selalu terjaga kebersihannya. Kandangnya pun permanen. Ia tidak menyewa lahan, melainkan mendapatkan izin dari pemiliknya untuk secara rutin merawat tempat tersebut.
"Saya fokus membuka usaha kurban sapi saja, tidak dengan kambing. Dulu, orang tua berpesan, jika sudah sapi, fokus saja pada sapi, jangan kambing. Sebab, di situ ada rezeki bagi orang lain yang beternak kambing," jelasnya.
Limbah sapi tidak dibuang begitu saja. Kotorannya dikumpulkan dan diolah menjadi pupuk. Hasil olahan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh warga sekitar, termasuk oleh petugas Dinas Pertamanan yang sering datang untuk mengambilnya.
Kandang sapi milik Misran memang berbeda dari lapak-lapak dadakan milik penjual musiman. Ia membangun sistem distribusi yang terstruktur dengan baik. Pengiriman sapi dimulai secara bertahap sejak bulan Maret. Alih-alih menggunakan truk besar, Misran lebih memilih kendaraan kecil seperti L300, Suzuki Carry, atau mobil bak terbuka.
Saat ini, kandangnya perlahan mulai terisi dengan 79 ekor sapi kiriman dari Magetan dan Madura. Selebihnya, berasal dari hasil “nempil", yaitu istilah yang digunakan pedagang untuk membeli dari pedagang lain melalui jaringan pertemanan di Cimanggis.
Misran terlihat sangat serius dalam hal pengelolaan usaha. Setiap hari, sapi-sapinya diberi pakan campuran berupa polar, dedak, ampas tahu, dan konsentrat, sebanyak dua kali sehari. Biaya pakan memang tidak sedikit, tetapi Misran tidak ingin berhemat untuk hewan yang akan dikurbankan.
Baginya, kesehatan sapi adalah prioritas utama. Setiap sapi yang baru datang akan diperiksa oleh Mantri Hewan. Ia juga melampirkan dokumen lengkap dari daerah asal sapi tersebut.
"Setelah diperiksa, jika ada kekurangan, kami selalu berusaha memenuhi saran dari Pak Mantri. Oleh karena itu, Alhamdulillah, sapi-sapi kami sehat semua," tuturnya.
Baru-baru ini, Dinas Kesehatan dan Wali Kota Jakarta Selatan melakukan inspeksi langsung ke kandangnya. "Alhamdulillah, semua persyaratan terpenuhi. Dan kemarin kami menerima surat dari Dinas Kesehatan yang menyatakan bahwa sapi-sapi kami dalam kondisi sehat," katanya.
Pelanggan Misran berasal dari berbagai kalangan. Ada yang mewakili rumah sakit seperti RS Cilandak dan RS Siloam, ada pengurus masjid, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah. Ia tidak perlu berteriak di pinggir jalan atau melakukan siaran langsung di TikTok. Sebagian besar pembeli lebih memilih datang langsung ke kandang, menikmati kopi, dan merokok sambil memilih sapi.
Sementara itu, sekitar 10 hingga 15 persen pembeli melakukan pemesanan melalui Instagram yang dikelola oleh anaknya. Biasanya, mereka membayar uang muka terlebih dahulu, kemudian datang untuk mengecek kondisi sapi sebelum melakukan pelunasan.
"Tahun lalu saya menjual 90 ekor, sekarang ada 79 ekor. Namun, jika nanti ada kekurangan, sapi-sapi saya di Magetan sudah siap," ungkapnya.
Misran menceritakan bahwa sejak merebaknya wabah PMK beberapa tahun lalu, harga sapi dari Jawa Timur mengalami kenaikan sebesar 10-15 persen. Produksi peternak belum sepenuhnya pulih, dan harga pakan pun semakin mahal. Namun, Misran tidak bisa serta-merta menaikkan harga jual. Ia berusaha untuk menyeimbangkan antara biaya operasional dan daya beli pelanggan.
"Alhamdulillah, semuanya masih berjalan dengan baik, dan permintaan juga masih cukup tinggi, baik untuk sapi berukuran besar maupun kecil," ucapnya.
Misran menjual sapi dengan harga yang bervariasi. Sapi dengan ukuran besar bisa mencapai harga Rp 75 juta hingga Rp 80 juta, sedangkan sapi dengan ukuran paling kecil dijual sekitar Rp 21 juta.
"Harganya tergantung pada bobot sapi. Setiap sapi memiliki bobot yang berbeda-beda, dan kami menjualnya berdasarkan perkiraan bobot tersebut," jelasnya.
Misran enggan membahas mengenai omzet yang diperolehnya. "Bagi saya, itu bukan masalah utama. Rezeki sudah diatur oleh Allah. Yang terpenting adalah saya merawat sapi-sapi ini dan memberikan pakan yang cukup sesuai dengan bobot masing-masing," ungkapnya.
Namun, dua bulan yang lalu, ia sempat merasa khawatir karena dana untuk membeli sapi belum terkumpul. Kemudian, datanglah kabar baik. Salah satu pelanggannya melakukan pembayaran lunas jauh lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Dana tersebut cukup untuk membeli sapi-sapi berikutnya.
"Alhamdulillah, sapi-sapi yang berukuran besar terjual dengan harga yang sesuai. Mereka memahami kesulitan yang saya alami dan bersedia untuk melunasi pembayaran, sehingga saya bisa membeli sapi sebanyak ini," katanya.
Ia mengaku sempat mencoba mengajukan pinjaman ke bank, tetapi prosesnya dinilai terlalu rumit.
"Ketika kami mencoba mencari pinjaman ke bank atau lembaga keuangan lainnya, kami seringkali mengalami kesulitan. Seolah-olah kami tidak dipercaya. Mereka mempertimbangkan kemampuan kami untuk membayar pinjaman tersebut," terangnya.
Pada tahun ini, ia merasa lebih tenang. Wabah PMK sudah mereda dan pengawasan tetap berjalan dengan ketat. Namun, ada satu harapan yang ingin ia sampaikan kepada pemerintah, yaitu agar pemerintah tidak membuka keran impor untuk hewan kurban karena hal tersebut dapat mematikan pasar lokal.
"Jika hal itu terjadi, bagaimana nasib para petani yang beternak sapi lokal?" pungkasnya.