“`html
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait permohonan yang diajukan oleh mantan PNS Badan Pusat Statistik (BPS), Lucky Permana. Permohonan tersebut meminta agar Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak otomatis diberhentikan dari jabatannya hanya karena telah menjalani hukuman pidana. Namun, MK berpendapat bahwa pemberhentian tersebut bukanlah bentuk sanksi ganda bagi ASN yang terbukti melakukan tindak kejahatan.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan dalam sidang yang digelar pada Kamis, 5 Juni 2025.
Menurut MK, tindakan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap ASN yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana, terutama jika sudah terbukti secara hukum, adalah tindakan yang dapat dibenarkan.
“Bahwa seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, hal ini adalah sesuatu yang wajar. Sebab, dengan melakukan tindak kejahatan atau tindak pidana, seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk mengemban tugas sebagai pegawai ASN,” ungkap hakim MK.
Hakim menambahkan bahwa dengan melakukan kesalahan, seorang ASN pada dasarnya telah mengkhianati kepercayaan masyarakat. Dijelaskan bahwa setiap jabatan yang diemban oleh seorang PNS semata-mata ditujukan untuk pembangunan bangsa dan negara.
“Sebab, seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana, secara langsung maupun tidak langsung, telah mengkhianati rakyat. Tindakan tersebut menghambat upaya pencapaian cita-cita dan tujuan bernegara yang seharusnya menjadi pedoman bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik dalam pelayanan publik, tugas pemerintahan, maupun tugas pembangunan,” jelas hakim lebih lanjut.
“Oleh karena itu, persyaratan pemberlakuan norma Pasal 52 ayat 3 huruf i dan ayat 4 sepanjang frasa “huruf i” UU 20/2023 yang esensinya sama dengan norma Pasal 87 ayat 4 huruf b UU 5/2014, di mana UU 20/2023 yang menggantikan UU 5/2014 adalah permohonan pemohon yang tidak tepat untuk dipertimbangkan. Hal ini justru akan melemahkan hakikat penjatuhan sanksi berat berupa pemberhentian tidak hormat bagi ASN yang melakukan tindakan yang terbukti menyalahgunakan jabatannya, atau setidak-setidaknya ada hubungan dengan jabatannya,” sambungnya.
MK juga berpendapat bahwa sanksi PTDH yang diberikan kepada ASN yang telah menjalani hukuman pidana bukanlah termasuk kategori sanksi ganda. MK menegaskan bahwa pemohon tidak perlu mencemaskan sanksi PTDH.
“Di samping itu, pemberhentian sebagai pegawai ASN setelah menjalani pidana penjara atau kurungan bukanlah merupakan sanksi ganda atas kesalahan yang sama dengan sanksi atau hukuman pidana yang diterima pemohon. Pemberhentian sebagai pegawai ASN merupakan konsekuensi dari putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga PTDH tersebut menjadi sanksi lanjutan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini bukanlah sanksi ganda untuk satu perbuatan yang dikhawatirkan oleh pemohon,” ucap MK.
Permohonan Pemohon
Sebagai informasi, Lucky Permana, pemohon dalam perkara ini, adalah mantan PNS yang pernah dijatuhi hukuman pidana penjara dan denda berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Lucky divonis penjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp 250 juta karena terbukti melakukan tindak pidana kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Akibatnya, pemohon kemudian diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan surat keputusan pemberhentian yang dikeluarkan oleh Kepala BPS pada tanggal 29 April 2019. Pemberhentian ini didasarkan pada pelanggaran terhadap Undang-Undang ASN terkait ketentuan pemberhentian PNS yang telah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pemohon, keputusan pemberhentian tidak dengan hormat tersebut diambil tanpa mempertimbangkan aspek-aspek individual lainnya, seperti rekam jejak kinerja, kompetensi, kontribusi, dedikasi, potensi rehabilitasi, masa kerja, tingkat kesalahan, dan/atau aspek-aspek lain yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam penentuan sanksi administratif. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 52 ayat (3) huruf i tidak memberikan ruang untuk penilaian individual dalam menilai kelayakan pemberhentian atau tidak diberhentikan dan rehabilitasi administratif bagi PNS/ASN yang telah menjalani hukuman pidananya, sehingga secara permanen menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk kembali bekerja di sektor pemerintahan.
Dalam petitumnya, Lucky meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) sepanjang frasa “huruf i” UU ASN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai bahwa pemberhentian tidak dengan hormat hanya dapat dilakukan setelah adanya penilaian individual dan rehabilitasi administratif bagi ASN yang telah menjalani hukuman pidana.
“`