Putusan MK: Pendidikan Dasar Gratis di Sekolah Negeri & Swasta

Admin

06/06/2025

6
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Fokusnya adalah pada frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’.

MasterV, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Fokusnya adalah pada frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’.

Permohonan ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama dengan tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Diketahui bahwa Fathiyah dan Novianisa berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sementara Riris adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS), dengan nomor perkara 3/PUU-XXIII/2025.

Dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban untuk menjamin terlaksananya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa adanya pungutan biaya.

Ketentuan ini berlaku baik untuk satuan pendidikan dasar yang dikelola oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang dikelola oleh masyarakat.

Namun demikian, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan bahwa sekolah/madrasah swasta tidak sepenuhnya dilarang untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan secara mandiri, yang berasal dari peserta didik atau sumber lain, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pertimbangan MK

Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangannya menyoroti bahwa frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas, yang secara eksklusif hanya berlaku untuk sekolah negeri, menimbulkan kesenjangan. Hal ini mengakibatkan keterbatasan daya tampung di sekolah negeri, sehingga memaksa sebagian peserta didik untuk bersekolah di sekolah swasta.

“Sebagai gambaran, pada tahun ajaran 2023/2024, daya tampung sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Sementara itu, pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa,” jelas Enny.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhalang dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena alasan ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.

Oleh karena itu, frasa “tanpa memungut biaya” berpotensi menimbulkan perlakuan yang berbeda bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan terpaksa bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih tinggi.

“Sehingga muncul fakta yang tidak sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2), karena norma konstitusi tersebut tidak memberikan batasan mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai oleh negara,” ungkap Enny.

“Norma konstitusi tersebut mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat menunaikan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Dalam konteks ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus diinterpretasikan sebagai pendidikan dasar yang diselenggarakan baik oleh pemerintah (negeri) maupun oleh masyarakat (swasta),” lanjutnya.

Dalam pertimbangan lainnya, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan perlunya negara untuk mengalokasikan anggaran pendidikan secara efektif dan adil, terutama bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses ke sekolah negeri.

“Salah satu aspek krusial dalam implementasi ketentuan ini adalah bagaimana negara dapat memastikan bahwa anggaran pendidikan dialokasikan secara efektif dan adil, termasuk bagi masyarakat yang menghadapi kesulitan mengakses sekolah negeri,” kata Enny.

Enny menjelaskan, untuk menjamin hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, negara wajib menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang hanya memiliki pilihan untuk bersekolah di sekolah/madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.

Menurut MK, kebutuhan akan bantuan pemerintah sebagai bentuk perwujudan kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan dasar sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, MK mempertimbangkan fakta bahwa terdapat sekolah atau madrasah swasta yang selama ini telah menerima bantuan anggaran dari pemerintah, seperti program BOS atau program beasiswa lainnya, namun tetap mengenakan biaya penyelenggaraan pendidikan kepada peserta didik guna memenuhi kebutuhan operasional sekolah.

“Di samping itu, terdapat pula sekolah/madrasah swasta yang tidak pernah atau tidak bersedia menerima bantuan anggaran dari pemerintah, serta menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi peserta didiknya dengan berbasis pada pembayaran biaya pendidikan sepenuhnya dari peserta didik,” tulisnya.

Terkait hal ini, MK menilai bahwa meskipun ada putusan ini, sekolah swasta tetap diperbolehkan memungut biaya kepada peserta didiknya, mengingat anggaran pemerintah saat ini masih terbatas.

“Terhadap sekolah/madrasah swasta demikian, menurut Mahkamah, menjadi tidak tepat dan tidak rasional jika dipaksakan untuk tidak lagi mengenakan biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan mereka dari peserta didik sama sekali, sementara di sisi lain kemampuan fiskal (anggaran) pemerintah untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (sekolah/madrasah swasta) yang berasal dari APBN dan APBD juga diakui masih terbatas sampai saat ini,” katanya.

Oleh karena itu, menurut MK, meskipun sekolah atau madrasah swasta tidak dilarang sepenuhnya untuk membiayai sendiri penyelenggaraan pendidikan yang berasal dari peserta didik atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, namun terhadap sekolah atau madrasah swasta tersebut tetap memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menjadi peserta didik dengan memberikan skema kemudahan pembiayaan tertentu, terutama bagi daerah yang tidak terdapat sekolah atau madrasah yang menerima pembiayaan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam norma Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003, yang menurut para Pemohon menimbulkan multitafsir dan diskriminasi karena hanya berlaku untuk sekolah/madrasah negeri, adalah beralasan menurut hukum,” papar Enny.

Permohonan dengan nomor 3/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama dengan tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Dasar alasan permohonan mereka adalah tidak maksimalnya pemakaian anggaran pendidikan di sejumlah daerah di Indonesia. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI menemukan data pada 2016 yang menunjukan anggaran pendidikan tidak digunakan untuk program penuntasan wajib belajar di jenjang pendidikan dasar, tetapi lebih digunakan untuk belanja tidak langsung.

“Bahwa berdasarkan data-data anggaran pendidikan dasar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sangat memungkinkan pendidikan dasar baik di sekolah swasta maupun negeri dibiayai oleh 20% APBN dan 20% APBD, dengan beberapa alasan yang mendukung,” bunyi alasan permohonan pemohon sebagaimana dilihat dalam putusan MK.

Petitum pemohon ialah:

1. Mengabulkan Permohonan PARA PEMOHON;

2. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya” Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) Inkonstitusional secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar yang dilaksanakan di Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta Tanpa Memungut Biaya”;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Mahkamah pun mengabulkan permohonan mereka.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

Sumber: Merdeka.com.