JAKARTA, MasterV – Adde Rosi, seorang anggota Komisi X DPR dari Fraksi Golkar, baru-baru ini menyampaikan pertanyaan penting mengenai kesiapan anggaran pemerintah. Pertanyaan ini muncul sebagai respons terhadap implikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024. Putusan tersebut, seperti yang kita ketahui, mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pendidikan gratis pada jenjang SD dan SMP, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Alokasi pendidikan dalam APBN 2025 yang mencapai 20 persen atau sekitar Rp 724 triliun, sebagian besar, seperti yang telah dianggarkan, dialokasikan untuk membayar gaji guru, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan pembangunan infrastruktur sekolah negeri. Pertanyaannya sekarang, apakah ini cukup?
“Jika negara harus turut menanggung biaya operasional secara penuh untuk sekolah swasta tingkat dasar dan menengah, dari mana sumber anggaran tambahan akan diperoleh? Apakah pemerintah telah siap untuk melakukan realokasi anggaran atau bahkan meningkatkan defisit, terutama di tengah upaya efisiensi anggaran yang sedang berjalan?” ungkap Adde dalam keterangannya pada Minggu, 1 Juni 2025.
Lebih lanjut, Adde juga menekankan pemahamannya mengenai semangat konstitusional yang mendasari putusan MK. Semangat ini bertujuan untuk menghapus diskriminasi dan menghilangkan hambatan ekonomi, terutama bagi para peserta didik yang terpaksa memilih sekolah swasta karena keterbatasan daya tampung di sekolah negeri.
Menurut pandangannya, putusan MK tetap memberikan ruang bagi sekolah swasta yang mandiri untuk membiayai operasional mereka sendiri, asalkan sekolah-sekolah tersebut memenuhi kriteria tertentu.
“Kami memberikan apresiasi atas penegasan yang disampaikan oleh MK bahwa negara memiliki kewajiban untuk memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat dalam mengakses pendidikan dasar hanya karena terkendala oleh faktor ekonomi atau keterbatasan sarana,” ujarnya.
Adde kemudian menyinggung mengenai peran aktif yang selama ini telah ditunjukkan oleh organisasi masyarakat (ormas) dalam mendirikan sekolah-sekolah swasta.
Dijelaskan oleh Adde, ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah memberikan kontribusi besar melalui sekolah-sekolah swasta yang mereka kelola.
“Partisipasi aktif dari ormas seperti NU dan Muhammadiyah melalui ribuan sekolah swasta yang mereka miliki, adalah tulang punggung bagi pendidikan di Indonesia, bahkan sejak sebelum kemerdekaan,” tegas Adde.
Oleh karena itu, Adde menyampaikan kekhawatiran jika rencana ini tidak dirancang dengan cermat, maka berpotensi untuk mengurangi semangat gotong royong yang selama ini telah terjalin, serta dapat memberikan beban finansial yang berat bagi negara.
Dia merekomendasikan adanya reformulasi dan realokasi anggaran pendidikan yang lebih memprioritaskan bantuan penuh bagi siswa miskin yang bersekolah di sekolah swasta dan tidak dapat tertampung di sekolah negeri. Selain itu, ia juga menyarankan untuk memperketat kriteria bagi sekolah-sekolah yang akan menerima bantuan penuh, serta memperluas dan meningkatkan nilai BOS Afirmatif bagi sekolah swasta yang berada di daerah terpencil atau memiliki basis siswa dari keluarga kurang mampu.
Sebagai penutup, Adde menyarankan agar dibangun kemitraan yang sinergis dengan ormas pendidikan untuk merancang skema subsidi yang efektif, tanpa mematikan inisiatif swadaya yang telah berjalan selama ini.
“Putusan MK ini merupakan langkah maju yang positif dalam mewujudkan keadilan pendidikan. Namun, tantangan yang ada saat ini adalah bagaimana mengimplementasikannya secara cerdas, realistis, dan berkelanjutan, tanpa mengabaikan peran vital dari masyarakat dan kesehatan fiskal negara. Komisi X DPR siap untuk mendorong dialog yang konstruktif terkait hal ini,” pungkas Adde.