PARIWISATA telah menjelma menjadi salah satu sektor kunci dalam pembangunan bangsa. Sektor ini tak hanya memacu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja, tetapi juga memperkenalkan kekayaan budaya dan keindahan alam Indonesia ke mata dunia.
Selama lebih dari dua dekade, Indonesia berupaya keras menjadikan industri pariwisata sebagai mesin penggerak pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, sehingga memberikan manfaat langsung bagi seluruh lapisan masyarakat.
Namun demikian, pengembangan pariwisata tak terpisahkan dari peran sentral negara. Pemerintah tidak hanya berperan sebagai fasilitator, melainkan juga sebagai pengatur dan pelaksana pembangunan yang strategis.
Banyak negara berkembang telah membuktikan bahwa kehadiran aktif negara mampu menjadikan pariwisata sebagai instrumen pemulihan dan pemberdayaan ekonomi yang efektif.
Rwanda, contohnya, sukses membangun ekowisata berbasis konservasi yang menjadi motor penggerak ekonomi pasca-konflik, dengan pemerintah yang berperan sentral sebagai perancang, fasilitator, dan sekaligus pengelola destinasi wisata.
Di Indonesia, keterlibatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan kawasan pariwisata memiliki landasan konstitusional yang kokoh melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Kawasan wisata yang menyimpan nilai budaya dan keindahan alam bukan sekadar aset ekonomi semata, melainkan juga warisan sosial dan ekologis yang harus dilestarikan.
Oleh karena itu, pengelolaannya tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat dari negara.
Pemerintah memegang peranan penting ganda dalam pembangunan pariwisata: sebagai regulator sekaligus implementor.
Sebagai regulator, negara menetapkan kebijakan yang memastikan pariwisata tumbuh secara adil, merata, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Di sisi lain, sebagai implementor, pemerintah bertanggung jawab penuh dalam penataan ruang, perlindungan kawasan lindung dan cagar budaya, serta pengawasan investasi agar tidak mencemari lingkungan dan merusak nilai-nilai lokal.
Lebih jauh lagi, melalui badan usaha seperti ITDC, pemerintah secara aktif terlibat langsung dalam mengembangkan kawasan strategis seperti KEK Mandalika yang saat ini menjadi penggerak utama ekonomi daerah NTB.
Selain ITDC, Kementerian Pariwisata juga memiliki Badan Layanan Umum (BLU) yang memegang peranan penting dalam mengelola destinasi prioritas seperti Borobudur, Danau Toba, dan Labuan Bajo.
BLU ini memiliki tugas utama mengembangkan infrastruktur, melestarikan budaya, dan memberdayakan masyarakat di masing-masing kawasan.
Agar perannya menjadi lebih efektif, BLU memerlukan dukungan modal anggaran yang memadai, SDM profesional, dan regulasi yang fleksibel agar dapat bergerak dengan cepat dan bermitra dengan para investor.
Ke depan, BLU sebaiknya bertransformasi menjadi entitas mandiri dengan kewenangan penuh untuk memangkas birokrasi dan mempercepat pengembangan destinasi secara efisien dan berkelanjutan.
Pembangunan infrastruktur dasar merupakan prasyarat mutlak dalam pengembangan pariwisata. Pemerintah wajib memastikan konektivitas fisik dan digital, serta layanan dasar seperti air bersih, listrik, dan transportasi umum tersedia secara merata.
Tanpa hal ini, kawasan wisata akan sulit berkembang dan manfaat ekonomi tidak dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat.
Contoh yang patut dicermati adalah proyek India–Myanmar–Thailand Trilateral Highway, sebuah koridor jalan sepanjang lebih dari 1.300 kilometer yang menghubungkan wilayah timur laut India dengan Myanmar dan Thailand.
Proyek ini memperkuat kerja sama ekonomi regional sekaligus membuka akses ke kawasan wisata terpencil yang selama ini sulit dijangkau oleh wisatawan.
Pemahaman mendalam atas Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga harus menjadi landasan bagi pemerintah daerah. Mereka tidak bisa terus menerus bergantung pada arahan dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah perlu tampil sebagai pelopor dengan mengambil inisiatif dan memperkuat kewenangan dalam mengelola sumber daya pariwisata secara mandiri dan bertanggung jawab.
Karena pada akhirnya, pemerintah daerah lah yang memikul tanggung jawab langsung untuk mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat di wilayahnya sendiri.
Pemerintah daerah juga harus lebih agresif dalam menangkap peluang investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan menawarkan skema bisnis yang menarik dan aman bagi investor.
Hanya dengan keberanian dan kepemimpinan yang kuat di tingkat lokal, pembangunan destinasi dapat berjalan dengan cepat, tepat sasaran, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.
Inilah esensi pariwisata yang sesungguhnya: tumbuh dari akar budaya bangsa, dirawat oleh tangan-tangan rakyat, dan diarahkan oleh negara demi mewujudkan kemakmuran bersama.
Ketika seluruh elemen bangsa bergerak seirama, pariwisata bukan sekadar industri belaka—melainkan menjadi jalan yang mulia untuk merajut kembali cita-cita keadilan sosial dan kejayaan Indonesia.