Hilirisasi Nikel RI: Sukses Jadi Sorotan, Ada Apa?

Admin

16/06/2025

4
Min Read

On This Post

Sejak tahun 2014, program hilirisasi nikel yang dijalankan Indonesia telah berhasil mengukuhkan posisinya sebagai salah satu eksportir utama di kancah global. Kendati demikian, kesuksesan ini tak luput dari sorotan terkait isu lingkungan hidup dan tekanan geopolitik yang datang dari negara-negara berpengaruh.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa sekitar 65% pasokan nikel dunia berasal dari Indonesia. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa nikel termasuk dalam kategori mineral kritis, di mana 43% cadangannya berada di wilayah Indonesia. Implementasi program hilirisasi diharapkan dapat menciptakan nilai tambah yang signifikan.

Bahlil menjelaskan bahwa melalui hilirisasi nikel, pendapatan negara mengalami peningkatan yang cukup besar, dari US$ 3,3 miliar pada tahun 2017-2018 menjadi US$ 34 miliar pada tahun 2024.

"Saat ini, kita adalah salah satu negara eksportir terbesar," ujar Bahlil dalam acara The 2nd Human Capital Summit 2025 di Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Keberhasilan program hilirisasi ini, menurut Bahlil, memicu protes dari berbagai pihak, baik dari luar negeri maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang menganggap hilirisasi nikel di Indonesia berdampak negatif. Kritik tersebut menyoroti bahwa industri nikel di Indonesia dianggap kurang memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan.

Isu-isu seperti deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta dampak sosial terhadap masyarakat menjadi perhatian utama. Menanggapi tudingan tersebut, Bahlil menyatakan bahwa lokasi penambangan nikel pasti berada di tanah, bukan di tempat yang nyaman.

"Banyak yang mengkritik nikel Indonesia tidak ramah lingkungan. Saya tegaskan, nikel itu adanya di tanah. Ini hanya dibuat-buat saja," kata Bahlil.

Meskipun demikian, Bahlil mengakui bahwa masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dalam program hilirisasi ini. Menurut mantan Menteri Investasi/Kepala BKPM ini, tidak ada negara di dunia yang langsung berhasil sempurna dalam menjalankan program berskala besar.

"Dalam industri nikel, kita sedang membangun ekosistem baterai mobil, yang mengarah pada energi hijau. Hal ini akan menciptakan banyak lapangan kerja. Oleh karena itu, kita harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan tenaga kerja," jelasnya.

Secara terpisah, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdanakusumah, menyampaikan bahwa serangan terhadap industri nikel Indonesia terus berlanjut. Dimulai dari gugatan Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) pada tahun 2020, penerapan tarif tambahan dari Amerika Serikat terhadap produk nikel, hingga kampanye negatif dengan tema 'dirty nickel' yang dikaitkan dengan isu pencemaran lingkungan.

Arif berpendapat bahwa kampanye negatif, termasuk isu pencemaran lingkungan, yang ditujukan terhadap program hilirisasi di Indonesia merupakan bagian dari perang dagang global. Menurutnya, negara lain seharusnya melihat hilirisasi nikel di Indonesia tidak hanya dari sisi negatif, tetapi juga dari kontribusi positif yang dihasilkan bagi Indonesia dan dunia.

"Contohnya, semakin terbukanya peluang investasi di Indonesia, diversifikasi rantai pasok nikel dunia, serta potensi perkembangan inovasi teknologi atau alternatif teknologi yang bermanfaat bagi industri nikel," ujarnya saat dihubungi Liputanku, Kamis (5/6/2025).

Arif menambahkan bahwa para pelaku hilirisasi nikel di Indonesia terus berupaya meningkatkan pemenuhan persyaratan ketat yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dan meningkatkan standar operasional sesuai dengan persyaratan internasional.

"Beberapa pelaku industri hilirisasi juga telah memulai proses sertifikasi dengan institusi global terpercaya seperti IRMA (Initiatives for Responsible Mining Assurance)," katanya.

Sebagai informasi, Harita Nickel dan Vale Indonesia merupakan contoh perusahaan yang bersedia menjalani proses audit IRMA sebagai bagian dari upaya meningkatkan praktik pertambangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan di Indonesia.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menyatakan bahwa dengan sumber daya mineral yang melimpah dan program hilirisasi, Indonesia kini berada dalam posisi yang rentan terhadap tekanan global. Terutama dari Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang memiliki ketergantungan pada mineral Indonesia. Hikmahanto menyinggung bahwa Uni Eropa telah menggugat kebijakan hilirisasi Indonesia ke WTO.

"Bahkan, saat tim negosiasi tarif dengan AS, mereka meminta agar Indonesia menghentikan kebijakan hilirisasi jika Indonesia menginginkan tarif yang lebih rendah dari 32%," ujarnya saat dihubungi Liputanku.

"Intinya, Indonesia saat ini secara geopolitik dalam hal mineral seperti Ukraina. Dalam artian, negara-negara besar berselisih atas mineral Indonesia, dan Indonesia hanya menjadi medan perangnya (battle field)," tambahnya.

Dengan demikian, Hikmahanto mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai tekanan dari berbagai pihak. Tujuannya adalah agar kepentingan nasional dapat terjamin.

"Oleh karena itu, pemerintah harus waspada dan mampu mengambil langkah strategis agar Indonesia keluar sebagai pemenang, dengan kepentingan nasional yang terjamin," tegasnya.