BEKASI, MasterV – Orang tua dari seorang siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pondok Gede, Kota Bekasi, yang menjadi korban tindakan perundungan, merasa sangat kecewa dengan respons yang ditunjukkan oleh pihak sekolah, yang dinilai cenderung membela pihak yang diduga sebagai pelaku.
Sebelum memutuskan untuk membawa kasus yang menimpa putranya ke ranah publik, Ibu korban yang berinisial A, mengungkapkan kekecewaannya karena merasa pihak sekolah kurang memberikan perhatian yang memadai kepada anaknya.
"Setelah kasus ini mencuat, barulah ada upaya untuk menemui kami. Sebelumnya, mereka justru lebih dulu menemui pelaku. Bahkan, hingga saat ini pun komunikasi terasa sulit," ungkap A kepada Liputanku, Sabtu (7/6/2025).
A juga menyampaikan kekesalannya atas kurangnya kepekaan pihak sekolah terhadap situasi yang dialami korban beserta keluarganya.
Bahkan, sempat ada tawaran dari pihak sekolah untuk menyelesaikan permasalahan ini secara internal atau kekeluargaan, meski pada akhirnya tawaran tersebut ditolak oleh keluarga korban.
"Kami siap menanggung biaya, tetapi yang kami inginkan adalah keadilan," tegas A.
Mengenai sanksi yang telah diberikan, A menjelaskan bahwa pelaku utama perundungan telah dipindahkan ke sekolah lain. Sementara itu, tiga pelaku lainnya hanya dipindahkan ke kelas yang berbeda, dan hal ini pun atas permintaannya sendiri.
"Pelaku utama memang sudah dipindahkan, tetapi tiga pelaku lainnya masih bersekolah di sini, hanya berbeda kelas. Itu pun karena saya yang meminta," jelas A.
Saat ini, A menaruh harapan besar agar Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi dapat turun tangan untuk menyelesaikan kasus ini, mengingat dampak trauma yang mendalam dialami oleh putranya akibat tindakan perundungan dan pemerasan yang dilakukan oleh para pelaku.
"Kami sangat berharap Pemkot Bekasi dapat memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini. Saya juga sudah mengirim pesan langsung (DM) kepada Bapak Wali Kota (Tri Adhianto) dan Bapak Gubernur (Dedi Mulyadi)," tambah A.
Menanggapi keluhan tersebut, Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, dengan sigap menawarkan bantuan hukum kepada keluarga korban.
Tri juga menginstruksikan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi untuk memberikan pendampingan kepada korban.
"Saya sudah meminta KPAD untuk turun tangan memberikan pendampingan dan edukasi. Kami juga telah menawarkan bantuan hukum kepada keluarga korban," tutur Tri.
Tri berjanji akan menerjunkan tim psikolog untuk membantu proses pemulihan kondisi mental korban. Proses pemulihan ini direncanakan akan berlangsung dalam lebih dari 15 sesi pertemuan, mengingat usia korban yang masih tergolong anak-anak.
"Kami akan memberikan pendampingan psikologis kepada korban dan juga pelaku, dengan tujuan untuk menumbuhkan kembali rasa percaya diri serta menghilangkan trauma," jelas Tri.
"Karena masih di bawah umur, pemulihan mental membutuhkan waktu yang tidak singkat. Diperlukan lebih dari 15 kali pertemuan," tambahnya.
Sebelumnya telah diberitakan, seorang siswa SDN Pondok Gede, Kota Bekasi, menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh empat orang temannya di dalam sebuah ruang kelas pada hari Jumat (16/5/2025).
Akibat tindakan perundungan tersebut, korban yang masih berusia 10 tahun mengalami luka memar di beberapa bagian tubuhnya serta pergeseran tulang pada bagian pundaknya.
"Pinggangnya memar membiru, di bagian paha juga terdapat memar. Hasil diagnosa dokter menunjukkan adanya pergeseran tulang di bagian pundak akibat pukulan dari pelaku," ungkap A.
A menceritakan, kejadian tersebut bermula ketika dirinya mengingatkan putranya untuk menjauhi teman-temannya yang sering melakukan pemerasan pada tanggal 15 Mei 2025.
Keesokan harinya, korban menuruti nasihat ibunya dengan menolak ajakan keempat temannya untuk berkumpul.
Penolakan tersebut membuat para pelaku merasa marah. Salah seorang dari mereka langsung melakukan penamparan terhadap korban.
Dalam keadaan ketakutan, korban dibawa oleh keempat pelaku ke sebuah ruang kelas yang berada di lantai atas sekolah. Sesampainya di sana, dua orang pelaku mengunci pintu, sementara dua pelaku lainnya melakukan tindakan kekerasan terhadap korban.
"Ada dua orang yang memukulnya di dalam kelas itu," kata A.
Setelah kejadian tersebut, korban melaporkan kejadian yang dialaminya kepada orang tuanya, dan A segera melaporkan hal tersebut kepada pihak sekolah.
Pihak sekolah kemudian memfasilitasi mediasi antara keluarga korban dan para pelaku, yang menghasilkan kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan. Keluarga pelaku juga berjanji untuk menanggung biaya pengobatan korban.
Akan tetapi, beberapa hari setelah mediasi, A mengaku merasa kecewa karena janji tersebut tidak kunjung ditepati.
Hingga saat ini, biaya pengobatan anaknya yang mencapai sekitar Rp 400.000 hingga Rp 500.000 belum juga dibayarkan, belum lagi ditambah dengan biaya ortopedi.
A berharap agar keluarga pelaku bersedia bertanggung jawab atas seluruh biaya pengobatan yang dibutuhkan oleh anaknya.
"Dia hanya perlu menjalani terapi agar tulangnya bisa kembali seperti semula, karena dia masih anak-anak. Intinya, kami hanya menginginkan adanya tanggung jawab," pungkas A.