Pasar Baru Jakarta: Antara Kenangan & Harapan Baru

Admin

13/06/2025

3
Min Read

JAKARTA, MasterV – Pada hari Rabu (4/6/2025), suasana tenang meliputi kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Menurut pantauan Liputanku, area yang dulunya termasyhur sebagai sentra perniagaan tertua dan teramai di Ibu Kota kini tampak meredup, berbeda jauh dari keramaian aktivitas jual beli yang pernah menjadi urat nadi kehidupan di sana.

Gapura kuno dengan tulisan “Batavia Passer Baroe 1820” masih berdiri tegak di ujung Jalan Pos, seolah menyambut setiap orang yang lewat, meskipun tidak banyak orang yang terlihat.

Jalanan yang lengang hanya dilalui beberapa pengendara dan pejalan kaki, nuansa suram meliputi area ini.

Di balik gapura tersebut, jajaran ruko berdiri dengan berbagai macam usaha, mulai dari toko busana, perlengkapan ibadah, hingga kuliner.

Toko Diobral atau Dikontrakkan

Tetapi, pemandangan yang paling menonjol bukanlah lagi etalase yang dipenuhi barang dagangan, melainkan spanduk “Disewakan” dan “Dijual” yang terpasang di banyak toko.

Sebagian ruko tampak kumuh dan seperti tidak terawat, pintu berkarat, cat tembok memudar, jendela berdebu tebal, dan atap tripleks yang mulai mengelupas.

Kontras yang mencolok terlihat dari bangunan modern H. Residence Pasar Baru Square di sisi kiri yang menjulang di antara bangunan-bangunan tua.

Beberapa petugas keamanan berjaga di area itu, menjaga keamanan yang relatif terkendali.

Jalanan dengan paving block pun menunjukkan tanda-tanda kerusakan.

Beberapa bagian bergeser dan berlubang, menambah kesan terbengkalai.

Walaupun demikian, jejak sejarah masih terasa kuat dari bangunan berarsitektur Tionghoa dan Eropa yang tetap berdiri, meski mulai lapuk dimakan usia.

Pasar Baru terbentang sepanjang sekitar 550 meter dan menjadi saksi bisu perubahan zaman.

Di tengah situasi yang memudar, masih ada sejumlah pedagang yang setia membuka dagangan.

“Saya sudah berdagang di sini lebih dari 30 tahun,” ungkap Aminah (58), pemilik toko perlengkapan ibadah.

Pedagang lainnya, Rudi (46), pemilik toko sepatu kulit, mengaku pasrah dengan kondisi yang terjadi sekarang ini.

“Kalau tidak buka, siapa yang mau membayar listrik, sewa, gaji karyawan? Tapi pembeli semakin sedikit. Yang bertahan di sini hanya yang sudah lama, sudah punya pelanggan tetap,” tuturnya.

Merosotnya Pasar Baru

Pandemi Covid-19 menjadi momentum yang menghantam roda ekonomi kawasan ini.

Hal itu disampaikan oleh Sandra (40), seorang petugas keamanan yang sudah lama bertugas di daerah tersebut.

“Ruko mulai banyak tutup itu setelah Covid-19. Mereka bertahan sebisa mungkin. Tapi karena sepi, ya banyak yang akhirnya menyerah,” kata Sandra.

Ia menyebutkan, dari lebih dari 100 unit ruko yang ada, mayoritas kini tutup atau hanya buka saat momen-momen tertentu, misalnya Ramadhan.

“Departement store sekarang hanya buka sebulan saat Ramadhan. Yang lain malah tutup total sejak Covid-19,” jelasnya.

Baharu (59), pedagang uang kuno yang telah berjualan sejak 1985, ikut merasakan langsung dampaknya.

“Sebelum Covid-19, setiap hari pasti ada saja yang membeli. Sekarang, bisa empat hari tidak ada yang laku,” tuturnya.

Meski begitu, Baharu tetap memilih untuk bertahan. Ia menjual uang kuno dari berbagai periode, termasuk sebelum kemerdekaan, yang kerap dicari untuk mahar atau koleksi.

“Saya menyukai sejarah. Uang kuno ini bagi saya bukan hanya barang dagangan, tetapi juga pelestarian budaya,” katanya.

Di tengah suasana yang semakin sepi, harapan akan perubahan masih tersimpan.

Para pedagang berharap ada upaya revitalisasi dari pemerintah maupun pengelola kawasan agar Pasar Baru kembali ramai.

“Sayang sekali kalau kawasan bersejarah ini dibiarkan mati perlahan,” ujar Rudi.

Ternyata, Pasar Baru tidak sepenuhnya sepi, kadang kala kegiatan budaya masih diselenggarakan di kawasan ini.

Salah satunya adalah lomba dayung yang rencananya akan digelar pada pertengahan Juni 2025 di sekitar Jalan Antara.

Meskipun hanya sesaat, acara semacam itu memberikan semacam kehidupan bagi kawasan yang seolah tertidur lelap.

Kini, Pasar Baru bukan lagi pusat keramaian seperti dahulu.

Ia berubah menjadi lorong kenangan yang menyimpan sejarah, budaya, dan jejak kehidupan masa lalu yang perlahan pudar.

Namun, di balik kesunyian itu, masih ada harapan agar kawasan bersejarah ini kembali menemukan semangatnya.