JAKARTA, MasterV – Paulus Tannos, tersangka utama dalam kasus korupsi e-KTP, mencoba berbagai strategi hukum, termasuk menolak proses ekstradisinya dari Singapura kembali ke Indonesia.
Lebih lanjut, Tannos juga berupaya mencari celah dalam sistem peradilan dengan mengajukan permohonan agar penahanannya ditangguhkan.
“Saat ini, PT (Paulus Tannos) sedang mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada pengadilan di Singapura,” ungkap Widodo, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum, pada hari Senin (2/6/2025).
Widodo menambahkan, pemerintah Indonesia terus berupaya melawan upaya penangguhan penahanan yang diajukan oleh Tannos tersebut.
“Atas permintaan pemerintah Indonesia, pihak AGC (Kejaksaan) Singapura terus mengupayakan perlawanan terhadap permohonan yang diajukan oleh PT tersebut,” jelasnya.
Sebagai informasi, Paulus Tannos menjabat sebagai Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, sebuah perusahaan yang terlibat langsung dalam proyek pengadaan e-KTP yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah.
Namanya resmi masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) pada tanggal 22 Agustus 2022, sebelum akhirnya berhasil ditangkap di Singapura pada 17 Januari 2025.
Akan tetapi, ekstradisi Paulus Tannos ke Indonesia belum dapat dilaksanakan karena ia memilih untuk menempuh proses hukum yang berlaku di Singapura.
Widodo menjelaskan bahwa proses hukum yang melibatkan Paulus Tannos di Singapura masih terus berlanjut.
Pemerintah Indonesia sebelumnya telah secara resmi mengajukan permohonan ekstradisi kepada otoritas Singapura pada tanggal 20 Februari 2025, yang kemudian dilengkapi dengan informasi tambahan pada tanggal 23 April 2025 melalui saluran diplomatik.
Sidang pendahuluan, atau committal hearing, terkait ekstradisi Paulus Tannos dijadwalkan akan diselenggarakan di Pengadilan Singapura pada tanggal 23-25 Juni 2025.
“Saat ini, status PT (Paulus Tannos) masih dalam penahanan, dan committal hearing (sidang pendahuluan) telah dijadwalkan pada tanggal 23–25 Juni 2025,” terang Widodo saat dihubungi, Senin (2/6/2025).
Menanggapi perkembangan ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima informasi mengenai pengajuan permohonan penangguhan penahanan Paulus Tannos kepada otoritas Singapura.
Setyo menjelaskan bahwa permohonan tersebut hingga saat ini belum dikabulkan oleh pihak berwenang Singapura.
“Informasi yang kami terima, pengajuan penangguhan dari Tannos belum disetujui,” kata Setyo saat dihubungi MasterV, Senin.
Setyo menambahkan bahwa proses tuntutan ekstradisi terhadap Paulus Tannos masih terus berjalan di Singapura.
Ia menegaskan bahwa KPK bersama dengan Kementerian Hukum akan terus memantau perkembangan proses ekstradisi ini secara seksama.
“Dan hingga hari ini, komunikasi intensif antar pemerintah terus dilakukan,” tegasnya.
Optimistis Ditolak
Sejalan dengan pernyataan Ketua KPK, Chairman Southeast Asia Anticorruption Syndicate (SEA Action), M Praswad Nugraha, menyatakan keyakinannya bahwa otoritas Singapura akan menolak permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh Paulus Tannos.
Menurutnya, keyakinan ini didasarkan pada keseriusan yang telah ditunjukkan oleh otoritas Singapura sejak awal, yang dibuktikan dengan penangkapan Paulus Tannos pada bulan Januari lalu untuk membantu pemerintah Indonesia.
“Kami sangat yakin bahwa Lembaga Yudikatif Singapura, serta Penegak Hukum Singapura, memiliki komitmen yang kuat untuk menolak penundaan penahanan dan mendukung proses ekstradisi Paulus Tannos,” ujar Praswad saat dihubungi Liputanku, Senin.
Praswad menambahkan bahwa proses ekstradisi ini akan menjadi bukti nyata komitmen tersebut, terutama karena Singapura dikenal sebagai negara dengan Indeks Persepsi Korupsi yang tinggi, dan kejahatan yang dilakukan oleh Paulus Tannos adalah korupsi yang diakui secara global.
“Justru akan menjadi pertanyaan besar apabila permohonan Tannos tersebut diterima,” tegasnya.
Sementara itu, Praswad menekankan pentingnya menjaga komitmen dan konsistensi KPK dalam menuntaskan kasus ini hingga selesai.
Menurut Praswad, KPK telah berupaya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Paulus Tannos pada akhir Mei 2025.
Namun, Paulus Tannos meminta agar pemeriksaan dilakukan secara informal, yang kemudian ditolak oleh KPK.
“Kami menilai langkah tersebut sudah tepat, karena kasus ini harus diselesaikan secara akuntabel. Hal yang perlu dipastikan adalah KPK mampu bergerak cepat dalam menindaklanjuti situasi pasca upaya Tannos ini, sehingga kasus ini dapat diselesaikan secara tuntas,” ucapnya.
Negara tak boleh kalah
Secara terpisah, anggota Komisi XIII DPR, Mafirion, mengecam manuver hukum yang dilakukan oleh Paulus Tannos di Singapura.
“Ini bukan hanya sekadar upaya penghindaran hukum, tetapi juga merupakan bentuk pelecehan terhadap kedaulatan hukum negara. Sebagai Anggota Komisi XIII DPR RI, saya menegaskan bahwa negara tidak boleh sampai kalah oleh buronan,” kata Mafirion dalam keterangannya, Senin.
Mafirion menekankan bahwa penyelesaian kasus Paulus Tannos bukan hanya sekadar masalah hukum, melainkan juga menyangkut wibawa bangsa Indonesia.
“Jika buronan korupsi dibiarkan bebas bermanuver di luar negeri, maka yang dipertaruhkan adalah kehormatan kita sebagai bangsa yang berdaulat,” ujarnya.
Oleh karena itu, Mafirion mendesak Kementerian Hukum untuk mengawal proses ekstradisi ini secara agresif dan strategis, serta memastikan bahwa semua dokumen hukum disiapkan dengan rapi dan meyakinkan.
Pemerintah, menurutnya, perlu berkoordinasi secara erat dengan otoritas Singapura, termasuk melalui jalur diplomatik dan hukum, untuk menghadapi permohonan penangguhan yang diajukan oleh Paulus Tannos.
“Memaksimalkan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang telah disahkan, sebagai wujud komitmen bersama dalam melawan kejahatan lintas negara,” pungkasnya.