PDIP: Sejarah Jangan ‘His Story’, Harus Fakta!

Admin

09/06/2025

4
Min Read

On This Post

Pemerintah, bekerja sama dengan sejumlah sejarawan dan akademisi, tengah menyusun ulang sejarah Indonesia. PDIP menekankan bahwa proses penulisan ulang ini harus berlandaskan fakta, bukan narasi yang menguntungkan pihak tertentu.

Fadli Zon, selaku Menteri Kebudayaan, menyampaikan bahwa proyek ini akan menghasilkan 10 jilid buku sejarah Indonesia yang baru. Pemerintah memutuskan untuk tidak menggunakan istilah “Orde Lama” (Orla) dalam penulisan ulang sejarah ini.

Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDIP, mengingatkan pemerintah terkait penulisan ulang sejarah tersebut. Beliau menekankan pentingnya kesesuaian dengan fakta, dan bukan berdasarkan pada interpretasi pihak yang berkuasa.

Pernyataan ini disampaikan Djarot seusai menghadiri upacara peringatan Hari Lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni di area parkir Masjid At Taufiq, Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Djarot menyinggung mengenai polemik terkait tanggal Hari Lahir Pancasila.

“Dulu, pemerintah berpegang pada tulisan Prof. Nugroho Notosusanto (mantan Mendikbud) yang menyatakan bahwa Hari Lahir Pancasila bukanlah tanggal 1 Juni. Hal ini kemudian diluruskan oleh para sejarawan,” jelas Djarot di lokasi.

Djarot berharap agar penulisan ulang sejarah ini tidak memihak pada tokoh atau kelompok tertentu. Menurutnya, penulisan sejarah harus didasarkan pada fakta yang ada.

“Oleh karena itu, penulisan sejarah harus benar-benar sesuai dengan fakta sejarah, bukan sekadar ‘his story’ atau cerita dari pihak yang menang, melainkan cerita perjuangan bangsa kita yang sesungguhnya,” tegasnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menekankan agar tidak ada informasi yang disembunyikan dalam penulisan ulang sejarah. Djarot mendorong agar proses ini dilakukan secara transparan.

“Jangan sampai sejarah itu ditutup-tutupi atau diputarbalikkan. Kita harus memastikan bahwa penulisan sejarah dilakukan secara terbuka,” kata Djarot.

Menanggapi keputusan pemerintah untuk tidak menggunakan istilah “Orde Lama,” Djarot menyerahkan sepenuhnya kepada para ahli sejarah.

“Soal Orde Lama atau Orde Baru, kita serahkan kepada ahli sejarah. Masa pemerintahan Bung Karno disebut Orde Lama, kan? Lalu, masa pemerintahan Orde Baru, dan sekarang Orde Reformasi. Nanti akan ada orde apa lagi? Itu semua bagian dari sejarah,” tambahnya.

11 Jilid Penulisan Sejarah Indonesia

Menteri Kebudayaan Fadli Zon memaparkan enam faktor utama yang melatarbelakangi perlunya penulisan ulang sejarah Indonesia. Ia juga menyebutkan beberapa judul yang akan termasuk dalam buku sejarah tersebut.

“Pertama, untuk menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-sentris. Apalagi, kita sudah 80 tahun merdeka. Saya kira, sudah saatnya kita memberikan pembebasan total dari bias kolonial dan memperkuat perspektif Indonesia-sentris,” ujar Fadli dalam rapat bersama Komisi X DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (26/5) lalu.

Kedua, sejarah Indonesia akan ditulis ulang untuk menjawab tantangan-tantangan kontemporer. Alasan lainnya adalah untuk memperkuat identitas nasional.

“(Alasan keempat) menegaskan otonomi sejarah. (Kelima) relevansi untuk generasi muda,” lanjutnya.

“Dan (keenam) *reinventing* *Indonesian* *identity*,” tambahnya.

Fadli Zon juga merinci susunan buku penulisan sejarah ini, yang terdiri dari 11 jilid, termasuk indeks. Berikut daftar judulnya: 1. Sejarah Awal Nusantara 2. Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina 3. Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah 4. Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi 5. Respons Terhadap Penjajahan 6. Pergerakan Kebangsaan 7. Perang Kemerdekaan Indonesia 8. Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi 9. Orde Baru (1967-1998) 10. Era Reformasi (1999-2024)

Fadli Zon juga menjelaskan alasan pemerintah tidak menggunakan istilah “Orde Lama” dalam 10 jilid buku penulisan ulang sejarah Indonesia. Menurutnya, pemerintah sebelum Orde Baru tidak pernah menyebut diri mereka sebagai “Orde Lama.”

“Jadi, sebenarnya, istilah itu dibuat oleh para sejarawan. Kalau kita perhatikan, pemerintahan sebelum Orde Baru tidak pernah menyebut dirinya Orde Lama. Sementara, Orde Baru memang menyebut dirinya sebagai Orde Baru,” jelas Fadli seusai rapat di Komisi X DPR.

Fadli menambahkan bahwa perubahan istilah ini bertujuan untuk menciptakan perspektif yang lebih netral dan inklusif dalam sejarah yang baru. Perubahan ini juga diharapkan dapat memberikan konotasi yang lebih positif.

“Jadi, sebenarnya, ini adalah perspektif yang ingin kita buat lebih inklusif dan lebih netral,” ungkapnya.

“Iya. Jadi, menurut saya, ini lebih baik, bukan? Siapa yang menyebut Orde Lama? Orde Baru, kan?” tanyanya retoris.

Saksikan Siaran Langsung DetikPagi di:.