Pedagang Kranji Terpuruk: Sepi Pembeli, Siap Gulung Tikar!

Admin

16/06/2025

4
Min Read

On This Post

Suasana lengang tanpa kehadiran pembeli telah menjadi potret keseharian yang menyedihkan bagi para pedagang di Pertokoan Kranji, Bekasi. Sepinya pengunjung membuat sejumlah pedagang mempertimbangkan untuk meninggalkan kawasan tersebut.

Salah seorang pedagang pakaian, Edi, mengenang masa lalu ketika kawasan ini sangat ramai, hingga ia sendiri sering merasa kewalahan dalam melayani pelanggan. Namun, penurunan jumlah pengunjung mulai terasa seiring dengan maraknya penggunaan layanan e-commerce atau toko online di kalangan masyarakat.

Memang benar, pertumbuhan toko online tidak serta-merta membuat pusat perbelanjaan ini langsung sepi. Namun, tren penurunan jumlah pengunjung terus berlanjut, terutama saat pandemi Covid-19 melanda. Sejak saat itu, jumlah orang yang datang ke kawasan pertokoan semakin berkurang secara signifikan.

Ironisnya, setelah pandemi berakhir dan aktivitas masyarakat kembali normal, pusat perbelanjaan ini justru semakin ditinggalkan. Bahkan, menurut penuturan Edi, kondisi di Pertokoan Kranji saat ini jauh lebih memprihatinkan dibandingkan saat pandemi.

"Dulu online sudah ada sebelum Covid. Pas masuk Covid, kondisinya sangat parah. Tapi itu masih lebih baik. Covid lebih mending daripada sekarang. Sekarang malah sangat parah, tidak ada pengunjung," ungkap Edi kepada detikcom, Kamis (5/6/2025).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa akibat sepinya pertokoan, ia terpaksa menutup salah satu dari dua tokonya yang dulu ia miliki di pusat perbelanjaan tersebut. Bersamaan dengan itu, jumlah karyawannya pun berkurang dari empat menjadi hanya satu orang.

"Ini sudah tutup satu, yang di depan. Tidak ada pemasukan. Bagaimana mau menggaji karyawan atau apa. Sekarang masih ada satu, setiap ada pemasukan kita bagi. Tapi paling cuma laku satu, laku dua," jelasnya dengan nada prihatin.

Karena pendapatan yang sangat minim serta kebutuhan untuk membagi hasil penjualan dengan satu karyawannya, Edi seringkali pulang dengan tangan kosong. Akibatnya, ia terpaksa menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Dulu masih bisa bertahan hidup, kalau sekarang, hasil penjualan langsung habis saat sampai rumah. Ya akhirnya hanya menghabiskan uang yang ada di rumah," keluh Edi.

Saking sulitnya mendapatkan pelanggan saat ini, Edi bahkan sudah berencana untuk segera menutup satu-satunya toko yang tersisa di Pertokoan Kranji. Ia merasa sudah tidak memiliki modal untuk melanjutkan usahanya. Ia pun mengaku masih bingung dengan situasi yang dihadapinya.

"Uang simpanan sudah habis. Sepertinya tidak lama lagi, karena pengunjungnya tidak ada. Mungkin sampai habis kontrak ini. Kontrak sampai bulan Januari 2026. Tapi kalau memang tidak sanggup, ya tidak dipaksakan," tuturnya dengan nada pasrah.

"Tidak tahu mau bagaimana, kita mau usaha apa lagi juga tidak tahu. Kita sudah mencari-cari ide untuk usaha lain. Kalau tidak usaha, kita mau makan apa di sini," imbuh Edi dengan nada khawatir.

Senada dengan Edi, pedagang perabot rumah tangga di Pertokoan Kranji bernama Julia juga mengungkapkan bahwa saat ini kawasan tersebut sudah sangat sepi. Bahkan, dalam sehari ia belum tentu bisa mendapatkan satu orang pelanggan.

"Omzet turun sangat jauh, bisa mencapai 80%. Jadi, dalam sehari bisa tidak ada pelanggan sama sekali. Sepi sekali, bisa dilihat sendiri kan. Saat pandemi justru masih lebih baik. Setelah pandemi, kondisinya malah semakin sepi. Paling yang datang hanya pelanggan tetap saja, itu pun jarang," terangnya dengan nada sedih.

Untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan usahanya, Julia terpaksa mengurangi jumlah karyawan toko. Dari tujuh orang, kini hanya tersisa tiga orang saja.

"Sekarang karyawan masuk kadang dua, kadang tiga. Kalau dulu pasti masuk semua, tujuh orang. Mau tidak mau ya disanggupi saja, kalau sepi tidak ada pembeli ya kita nombok," papar Julia.

Untungnya, sebagian besar dagangannya juga dijual secara online. Sehingga, meskipun ia tidak bisa mendapatkan keuntungan yang besar, setidaknya ia masih memiliki uang untuk tetap berusaha, meskipun dengan susah payah.

"Online ada sedikit-sedikit. Hanya untuk memutar modal saja, tidak bisa menutupi kerugian. Kalau sekarang, penjualan lebih banyak dari online, sekitar 80% lah," ujarnya.

Namun, omzet yang semakin menipis membuat Julia tidak lagi bisa mendapatkan hasil yang signifikan dari usahanya. Oleh karena itu, jika kondisi ini terus berlanjut, ia tidak punya pilihan lain selain gulung tikar, meskipun ia sendiri tidak tahu sampai kapan bisa bertahan.

"Rencananya mau tutup. Ya, rencananya kalau kita terus nombok, kita memilih untuk tutup saja," pungkasnya dengan nada pasrah.