Sepi Pembeli, Pedagang Kranji Terancam Gulung Tikar?

Admin

17/06/2025

3
Min Read

On This Post

Peribahasa 'hidup segan, mati tak mau' nampaknya tepat menggambarkan situasi yang dihadapi para pedagang di Pertokoan Kranji, Bekasi. Mereka kini hanya dapat membuka toko dan mencoba berjualan, meski menyadari pusat perbelanjaan tersebut kian sepi dari kunjungan pembeli.

Kondisi ini dialami oleh Edi (56), seorang pedagang pakaian. Ia hanya bisa duduk termenung sambil menatap layar ponsel di depan tokonya, menantikan kedatangan seorang pembeli.

Ia bercerita bahwa dahulu kawasan ini sangat ramai oleh pembeli, bahkan seringkali membuatnya kewalahan melayani. Akan tetapi, jumlah pengunjung berangsur-angsur menurun seiring dengan maraknya toko-toko online di Indonesia. Sayangnya, tren penurunan ini terus berlanjut hingga saat ini.

"Online itu sudah ada sebelum Covid. Saat Covid datang, kondisinya sangat parah. Tapi saat itu masih lebih baik. Covid itu lebih baik daripada sekarang. Sekarang malah sangat parah, tidak ada pengunjung," ungkap Edi saat ditemui detikcom, Kamis (5/6/2025).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa akibat semakin sepinya pertokoan, ia terpaksa menutup salah satu dari dua tokonya yang dulu dimilikinya di pusat perbelanjaan tersebut. Bersamaan dengan itu, jumlah karyawannya pun berkurang dari empat menjadi hanya satu orang saja.

Karena pendapatan yang sangat minim akibat sepi pembeli, tak jarang ia harus pulang tanpa membawa uang. Sehingga, ia terpaksa menggunakan tabungan untuk bertahan hidup. Bahkan, saat ini ia mengaku sudah tidak memiliki modal lagi untuk terus mempertahankan usahanya.

"Dulu masih bisa bertahan hidup, tapi sekarang ini, uang hasil jualan langsung habis begitu sampai rumah. Ya, akhirnya cuma menghabiskan uang yang ada di rumah," ujar Edi.

"Tidak ada yang melariskan. Ya, sekarang sudah tidak pernah belanja, ya habis. Akhirnya tinggal menghabiskan barang saja, laku satu, laku dua, tiga, lama-lama habis," jelasnya.

Saking sulitnya mencari pelanggan saat ini, Edi bahkan sudah berencana untuk segera menutup satu-satunya toko yang tersisa di Pertokoan Kranji tersebut. Ia merasa sudah benar-benar tidak memiliki modal untuk melanjutkan usaha. Sejauh ini, ia juga masih merasa bimbang.

"Uang simpanan habis. Sepertinya tidak lama lagi, pengunjungnya tidak ada. Mungkin sampai habis kontrak ini. Kontrak sampai bulan pertama tahun depan (Januari 2026). Tapi kalau memang tidak sanggup, ya tidak dipaksa," tuturnya.

"Tidak tahu mau bagaimana, kita usaha mau cari apa lagi tidak tahu. Kita sudah berputar-putar mencari mau usaha apa. Kalau tidak usaha di sini, mau makan apa," tandas Edi.

Kondisi serupa turut dirasakan oleh Julia (68), seorang pedagang perabot rumah tangga di Pertokoan Kranji. Saat ini, ia juga sedang mempertimbangkan apakah akan menutup toko atau tetap berjualan di pusat perbelanjaan tersebut.

Sebab, ia merasa hasil penjualannya saat ini hanya cukup untuk sekadar bertahan dan tetap berjualan. Ia tidak bisa mendapatkan keuntungan lebih dari jerih payahnya itu. Padahal, hasil penjualan tokonya tersebut sudah dibantu melalui penjualan online.

"Online ada sedikit-sedikit. Buat perputaran modal saja, tidak sampai menutupi (kerugian). Kalau sekarang sih (penjualan) lebih banyak online ya. Lebih dari setengah, sekitar 80% juga lah itu dari online," ucap Julia.

Terlebih lagi, ia masih mempekerjakan dua sampai tiga pekerja harian. Jika tidak ada pelanggan, maka ia terpaksa harus menombok gaji karyawan tersebut.

Beruntung toko yang ditempatinya itu merupakan milik pribadi sehingga ia tidak perlu mengeluarkan modal untuk biaya sewa toko. Namun, jika kondisi ini terus berlanjut, maka ia juga tidak punya pilihan selain gulung tikar, meski ia sendiri juga tidak tahu bisa bertahan sampai kapan.

"Rencana mau tutup. Rencananya ya kalau kita nombok-nombok terus kan ini sih kita milih tutup," katanya.