109 Juta Pekerja RI Bergaji di Bawah UMP: Mengapa?

Admin

09/06/2025

3
Min Read

On This Post

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) baru-baru ini menyoroti sebuah fakta yang mengkhawatirkan: terjadi lonjakan signifikan pada jumlah pekerja di Indonesia yang menerima upah di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP). Menurut analisis mereka, salah satu pemicu utama dari peningkatan ini adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terkait implementasi UMP.

Dalam risetnya, CELIOS mengungkapkan bahwa persentase pekerja yang pendapatannya di bawah UMP melonjak tajam menjadi 84% pada tahun 2024, dibandingkan dengan 63% pada tahun 2021. Berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), CELIOS menemukan bahwa sekitar 109 juta pekerja di seluruh Indonesia menerima bayaran di bawah UMP pada tahun 2024. Angka ini kontras dengan data tahun 2021, yang mencatat 83 juta pekerja dengan kondisi serupa.

"Mengapa banyak pekerja dibayar di bawah UMP? Jawabannya adalah lemahnya penegakan aturan terkait upah minimum. Para pekerja yang menerima upah di bawah standar cenderung menerima nasib mereka, karena terbatasnya ketersediaan lapangan kerja," ungkap Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, kepada detikcom pada hari Sabtu (31/5/2025).

Bhima menekankan bahwa kelangkaan lapangan kerja membuat para pekerja yang bergaji rendah enggan melaporkan potensi pelanggaran hak-hak normatif mereka sebagai pekerja.

"Akibatnya, pekerja cenderung pasif dalam melaporkan indikasi pelanggaran hak normatif. Daripada menganggur, lebih baik bekerja meski dengan upah rendah. Tren ini seolah menjadi sesuatu yang lumrah. Selain itu, maraknya praktik union busting, di mana pekerja dilarang berserikat, turut melemahkan upaya pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan," lanjut Bhima.

Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa faktor lain yang berkontribusi terhadap tingginya angka pekerja bergaji di bawah UMP adalah besarnya proporsi pekerja di sektor informal, terutama setelah adanya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor industri pengolahan.

"Setelah gelombang PHK beberapa tahun belakangan, banyak yang beralih ke sektor informal, termasuk menjadi pengemudi ojek online (ojol) dan kurir. Ada juga yang bekerja di usaha keluarga skala UMKM. Jenis pekerjaan informal ini sangat rentan terhadap masalah upah dan minimnya jaring pengaman sosial, seperti kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan," imbuh Bhima.

Ternyata, banyaknya pekerja dengan upah di bawah UMP juga berdampak negatif pada kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Semakin banyak orang bekerja, namun kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka, jelas Bhima.

"Ketidaksesuaian antara gaji dan biaya hidup seperti makan, sewa rumah, dan biaya sekolah anak, mendorong mereka terjerat utang, misalnya melalui pinjaman online (pinjol). Bahkan, masalah ekonomi ini bisa berujung pada depresi hingga perceraian. Sebagian lainnya terpaksa bekerja overworked, di mana suami dan istri harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," pungkas Bhima.

Menurut Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Pasal 89 Ayat 1, upah minimum dapat ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota, serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

Selain itu, UU Ketenagakerjaan Pasal 90 Ayat 1 dengan tegas menyatakan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang diatur dalam Pasal 89. Lebih lanjut, Pasal 90 Ayat 2 menyebutkan bahwa perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum sesuai Pasal 89 dapat mengajukan penangguhan.