Boros! Belanja Pupuk Subsidi Rp 2,9T, Pupuk Indonesia Respon

Admin

08/06/2025

4
Min Read

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru-baru ini mengungkapkan adanya indikasi pemborosan dalam anggaran belanja pupuk bersubsidi yang dikelola pemerintah. Nilai yang tercatat cukup signifikan, mencapai Rp 2,92 triliun selama periode 2020 hingga 2022. Kondisi ini disinyalir disebabkan oleh kebijakan produksi pupuk subsidi yang dianggap memakan biaya tinggi serta kurang optimalnya pemanfaatan kapasitas produksi pabrik.

Menanggapi temuan tersebut, PT Pupuk Indonesia menyampaikan apresiasi atas laporan BPK dan menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti setiap rekomendasi yang telah diberikan.

"Temuan dari BPK ini menjadi sinyal penting bahwa revitalisasi pabrik-pabrik lama serta pembangunan fasilitas produksi baru yang lebih efisien adalah langkah yang krusial," ujar VP Komunikasi Korporat Pupuk Indonesia, Cindy Sistyarani, saat dihubungi Liputanku pada Sabtu (31/5/2025).

Lebih lanjut, temuan BPK terkait inefisiensi ini membuka wawasan bahwa masalah tersebut berakar pada usia pabrik yang sudah tua. Akan tetapi, untuk mengatasi persoalan ini, perusahaan memerlukan skema-skema inovatif yang dapat mendukung perbaikan kondisi tersebut.

"Saat ini, ruang gerak Pupuk Indonesia untuk melakukan investasi di sektor ini masih sangat terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan kebijakan serta skema-skema baru yang mampu mendorong efisiensi dan keberlanjutan industri pupuk nasional," jelasnya.

Desakan Rekomendasi dari Anggota DPR

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasim Khan, turut menyoroti inefisiensi produksi yang menjadi penyebab pemborosan. Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari usia pabrik PT Pupuk Indonesia (Persero) yang sudah lanjut, bahkan dalam catatannya, beberapa pabrik telah beroperasi lebih dari 40 tahun.

"Berkaitan dengan temuan BPK RI, di PIHC terdapat 5 anak perusahaan yang berperan sebagai produsen pupuk, yaitu Petrokimia Gresik, Pupuk Kalimantan Timur, Pupuk Kujang, Pupuk Iskandar Muda, dan Pupuk Sriwidjaja. Masing-masing memiliki pabrik amoniak, urea, dan NPK dengan usia yang bervariasi, namun rata-rata di atas 40 tahun dengan konsumsi energi (kebutuhan gas) yang juga berbeda-beda," ungkap Nasim.

Nasim menambahkan, pabrik-pabrik yang sudah tua ini menyebabkan produksi menjadi tidak efisien, yang pada akhirnya meningkatkan biaya produksi pupuk bersubsidi. Konsekuensinya, pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang lebih besar untuk membeli pupuk subsidi yang diproduksi dari pabrik-pabrik tersebut.

"Temuan pemborosan dan inefisiensi yang disampaikan BPK disebabkan oleh adanya pabrik yang boros, sehingga Harga Pokok Produksi (HPP)-nya menjadi tinggi dan membebani subsidi. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi PI untuk menindaklanjuti rekomendasi dari BPK," tegasnya.

Menurutnya, pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap upaya perbaikan pabrik-pabrik yang sudah tua tersebut. Selain itu, kepastian harga gas untuk produksi pupuk juga perlu dijamin oleh pemerintah. Langkah-langkah ini penting untuk mendukung kemajuan industri pupuk nasional melalui penerapan teknologi dan peningkatan efisiensi produksi.

Sebagai informasi, Pupuk Indonesia saat ini tengah membangun pabrik baru di Palembang dan Papua. Bersamaan dengan itu, juga dilakukan upaya pembaruan atau revamping pabrik PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) di Bontang, Kalimantan Timur.

"Sebagian besar pabrik pupuk kita memang sudah tua dan tidak efisien dalam konsumsi bahan baku gas. Oleh karena itu, pembangunan pabrik-pabrik baru perlu didukung agar semakin efisien, sehingga HPP atau biaya produksinya semakin hemat dan tidak terjadi pemborosan," jelas Nasim.

Nasim menyatakan akan mempelajari lebih lanjut laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2024 yang dikeluarkan oleh BPK. Ia juga menyarankan agar PT Pupuk Indonesia dapat melaksanakan rekomendasi yang telah diberikan.

Detail Temuan BPK

Sebagai informasi tambahan, dalam IHPS II 2024, BPK menemukan adanya pemborosan dalam belanja subsidi pupuk pemerintah selama periode 2020-2022 sebesar Rp 2,92 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2,83 triliun disebabkan oleh pengalokasian pupuk urea bersubsidi oleh PT PI yang belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi operasional masing-masing anak perusahaan produsen pupuk.

BPK menilai bahwa kebijakan alokasi produksi pupuk bersubsidi masih cenderung memprioritaskan produsen dengan biaya produksi paling tinggi, sementara produsen dengan biaya produksi paling rendah justru lebih difokuskan untuk produksi pupuk nonsubsidi.

Selain itu, hasil perbandingan antara alokasi pada kontrak dengan rata-rata tertimbang kapasitas operasional menunjukkan bahwa pembagian alokasi produksi pupuk bersubsidi belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi masing-masing produsen pupuk.

BPK merekomendasikan agar Dewan Komisaris PT Pupuk Indonesia memberikan peringatan dan arahan kepada Direktur Utama dan Direktur Pemasaran PT PI yang dinilai kurang cermat, melanggar tata kelola yang sehat, dan kurang mempertimbangkan efisiensi dalam menetapkan alokasi pupuk bersubsidi kepada anak perusahaan.