JAKARTA, MasterV – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana meminta keterangan dari Hanif Dhakiri, yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja periode 2014-2019, serta Ida Fauziyah, Menteri Tenaga Kerja periode 2019-2024, terkait dengan kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Menurut Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo, klarifikasi dari kedua mantan menteri tersebut diperlukan mengingat modus pemerasan ini disinyalir telah berlangsung sejak tahun 2012.
"Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, klarifikasi akan dilakukan secara berjenjang, dimulai dari Menteri HD (Hanif Dhakiri) hingga (Menaker) ID (Ida Fauziyah). Kami akan meminta keterangan dari beliau terkait praktik yang terjadi di bawah kepemimpinan mereka, karena secara manajerial, mereka bertanggung jawab sebagai pengawas," ungkap Budi dalam konferensi pers yang diadakan di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada hari Kamis (5/6/2025).
Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa KPK akan mendalami apakah para menteri tenaga kerja tersebut mengetahui adanya praktik pemerasan tersebut.
Dia menegaskan bahwa langkah ini krusial untuk memastikan upaya pencegahan korupsi di Kemenaker dapat berjalan efektif.
"Hal ini sangat penting untuk dilakukan, sehingga upaya pencegahan yang kita lakukan ke depan selaras dari tingkat atas hingga bawah. Jika menteri bersih, Insya Allah, bawahannya pun akan bersih," tegasnya.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus pemerasan terkait pengurusan izin RPTKA di Kemenaker pada hari Kamis (5/6/2025).
"Perlu saya sampaikan bahwa pada tanggal 19 Mei 2025, KPK telah menetapkan delapan orang tersangka sehubungan dengan tindak pidana korupsi yang telah saya sebutkan di atas," jelas Budi Sukmo dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
Kedelapan tersangka tersebut adalah Suhartono (SH), yang menjabat sebagai eks Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK); Haryanto (HY), Dirjen Binapenta Kemenaker periode 2024-2025.
Kemudian, Wisnu Pramono (WP), Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemenaker tahun 2017-2019; Devi Angraeni (DA), Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan TKA; Gatot Widiartono (GTW), Kepala Sub Direktorat Maritim dan Pertanian di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja; serta Putri Citra Wahyoe (PCW), Jamal Shodiqin (JMS), dan Alfa Eshad (ALF), yang merupakan staf.
KPK mengungkapkan bahwa para tersangka diduga telah menerima uang hasil pemerasan sebesar Rp 53,7 miliar dari para pemohon izin RPTKA selama periode 2019-2024.
Budi memerinci jumlah uang yang diterima oleh masing-masing tersangka, di antaranya Suhartono (Rp 460 juta), Haryanto (Rp 18 miliar), Wisnu Pramono (Rp 580 juta), Devi Angraeni (Rp 2,3 miliar), Gatot Widiartono (Rp 6,3 miliar), Putri Citra Wahyoe (Rp 13,9 miliar), Alfa Eshad (Rp 1,8 miliar), dan Jamal Shodiqin (Rp 1,1 miliar).
Dia menambahkan bahwa sebagian dari uang tersebut dialokasikan untuk biaya makan 85 orang staf di Dirjen Binapenta Kemenaker sebesar Rp 8,94 miliar.
"Dana tersebut digunakan untuk makan siang dan kegiatan-kegiatan non-budgeter lainnya," jelasnya.
Budi juga menyebutkan bahwa staf hingga petugas kebersihan yang bertugas di Dirjen Binapenta turut menikmati uang hasil pemerasan tersebut dengan total mencapai Rp 5,4 miliar.
Namun, uang tersebut telah dikembalikan ke kas negara.
"Mereka telah mengembalikan uang tersebut ke negara sejumlah Rp 5,4 miliar," pungkasnya.