Kejagung Dalami Stafsus Nadiem di Kasus Laptop Chromebook

Admin

23/06/2025

2
Min Read

On This Post

Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah fokus mendalami dugaan keterlibatan Fiona Handayani (FH), yang dahulu menjabat sebagai Staf Khusus Mendikbudristek di era kepemimpinan Nadiem Makarim, terkait dengan kasus korupsi yang mencuat dalam pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek pada periode 2019-2022. Pertanyaan mendasar, apa sebenarnya yang sedang dieksplorasi Kejagung dari keterangan Fiona?

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa pihaknya secara intensif terus menelusuri peran sentral Fiona dalam tim teknologi. Hal ini termasuk menyoroti dugaan kontribusi Fiona yang memberikan berbagai masukan penting dalam proses pengadaan laptop untuk program digitalisasi pendidikan yang menelan anggaran fantastis, mencapai Rp 9,9 triliun.

"Inilah yang menjadi fokus utama pertanyaan penyidik, bagaimana mungkin seorang staf khusus memiliki peran aktif dalam memberikan masukan terkait pengadaan Chromebook ini," ujar Harli kepada awak media di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, pada Selasa (10/6/2025).

"Oleh sebab itu, penyidik akan terus menginvestigasi secara mendalam bagaimana korelasi antara jabatan stafsus dengan keterlibatannya dalam proyek ini," imbuhnya.

Dijelaskan oleh Harli, saat ini penyidik sedang dalam proses membaca, mengkaji, dan menganalisis barang bukti elektronik (BBE) yang berkaitan erat dengan perkara tersebut. BBE ini, menurut Harli, akan menjadi landasan penting bagi penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap Fiona.

"Penyidik berkomitmen untuk terus mengumpulkan sebanyak mungkin bukti yang relevan, dengan tujuan utama mengungkap secara terang benderang tindak pidana yang terjadi dalam kasus ini," tegas Harli.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Kejagung secara resmi memulai penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan digitalisasi pendidikan ini sejak Selasa, 20 Mei. Diduga kuat terdapat kolaborasi tersembunyi atau pemufakatan jahat yang melibatkan berbagai pihak terkait.

"Modusnya adalah dengan mengarahkan tim teknis untuk membuat kajian teknis terkait pengadaan peralatan TIK, yang kemudian diarahkan pada penggunaan laptop berbasis sistem operasi Chromebook," ungkap Harli kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (26/5).

Menurut Harli, pengadaan laptop Chromebook ini sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan riil siswa pada saat itu. Bahkan, pada tahun 2019, uji coba penggunaan laptop berbasis sistem operasi Chromebook telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa metode ini tidak efektif.

"Kita semua tahu bahwa Chromebook sangat bergantung pada koneksi internet, sementara di Indonesia, kualitas dan ketersediaan internet masih belum merata, terutama di daerah-daerah terpencil. Hal ini memunculkan dugaan adanya persekongkolan dalam proses pengadaan ini," jelas Harli.

Harli mengungkapkan bahwa proyek ini menghabiskan anggaran negara yang sangat besar, mencapai Rp 9,9 triliun. Angka tersebut terdiri dari Rp 3,5 triliun yang berasal dari satuan pendidikan dan Rp 6,3 triliun yang dialokasikan melalui dana alokasi khusus (DAK).