MasterV – Procter & Gamble (P&G), sebuah perusahaan raksasa barang konsumsi yang berbasis di Amerika Serikat, berencana untuk mengurangi jumlah karyawannya sebanyak kurang lebih 7.000 orang dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Kebijakan yang cukup signifikan ini muncul sebagai akibat langsung dari pemberlakuan tarif tinggi oleh Presiden AS Donald Trump terhadap negara-negara mitra dagang, termasuk di antaranya adalah China.
Inisiatif pemutusan hubungan kerja (PHK) ini, dengan sasaran utama divisi non-manufaktur, akan berdampak pada sekitar 15 persen dari total tenaga kerja yang berada di segmen tersebut. Perusahaan yang berpusat di Ohio, Amerika Serikat, saat ini mempekerjakan kurang lebih 108.000 orang di berbagai belahan dunia.
“Program restrukturisasi ini merupakan sebuah langkah krusial dalam memastikan kemampuan perusahaan untuk tetap bertahan dan kompetitif selama dua hingga tiga tahun mendatang,” ungkap Kepala Keuangan P&G, Andre Schulten, sebagaimana dikutip dari Liputanku, Minggu (8/6/2025).
Meskipun demikian, beliau menambahkan, “Hal tersebut sama sekali tidak menghilangkan tantangan-tantangan jangka pendek yang sedang kita hadapi saat ini.”
P&G menjelaskan bahwa kenaikan tarif impor telah menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam biaya produksi. Sebagai upaya untuk menyeimbangkan situasi ini, perusahaan terpaksa menaikkan harga jual produk, yang pada gilirannya menekan daya beli konsumen dan mengakibatkan perlambatan dalam penjualan.
Pada kuartal III tahun fiskal yang berjalan, penjualan organik P&G di AS hanya mengalami pertumbuhan sebesar 1 persen. Lebih lanjut, perusahaan juga memperkirakan bahwa laba per saham pada kuartal IV tahun fiskal akan mengalami penurunan sekitar 3 hingga 4 sen.
Tidak hanya itu, P&G juga memproyeksikan beban keuangan yang harus ditanggung akibat tarif akan mencapai angka 600 juta dollar AS, atau setara dengan sekitar Rp 9,9 triliun (dengan asumsi kurs Rp 16.500 per dollar AS) sebelum dikenakan pajak, hingga tahun fiskal 2026.
Di samping itu, perusahaan juga memperkirakan akan menanggung biaya non inti (noncore costs) sebesar 1 miliar dollar AS hingga mencapai 1,6 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp 16,5 triliun hingga Rp 26,4 triliun. Biaya ini muncul sebagai konsekuensi dari restrukturisasi rantai pasok dan juga perampingan organisasi internal yang tengah dilakukan.
Langkah yang diambil oleh P&G ini mengikuti jejak sejumlah korporasi besar AS lainnya, seperti Microsoft dan Starbucks, yang sebelumnya telah melakukan PHK secara besar-besaran sepanjang tahun 2025, di tengah dampak berkelanjutan dari kebijakan tarif yang cukup agresif.
Kabar mengenai PHK ini secara langsung memberikan dampak terhadap pasar saham. Tercatat bahwa harga saham P&G mengalami penurunan lebih dari 1 persen pada hari Kamis (5/6/2025), dan secara kumulatif telah mengalami penurunan sebesar 2 persen sepanjang tahun ini. Sementara itu, kapitalisasi pasar perusahaan tercatat mencapai 407 miliar dollar AS, atau setara dengan sekitar Rp 6.715,5 triliun.