PGI Bersuara: Tambang Raja Ampat Ancam Warisan UNESCO?

Admin

24/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), sebagai representasi organisasi kemasyarakatan Kristen Protestan, memberikan tanggapan terhadap isu yang mencuat terkait aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Sekretaris Umum PGI, Pendeta Darwin Darmawan, dalam siaran pers yang diterima Liputanku pada Rabu (11/6/2025), menyatakan, “Gereja tidak dapat berdiam diri ketika alam mengalami kerusakan akibat praktik eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Baik itu melalui industri ekstraktif yang merusak lingkungan, maupun ekspansi perkebunan yang menyebabkan deforestasi serta dampak sosial lainnya.”

Pernyataan PGI tersebut, yang diberi judul “Jangan Merusak Alam Demi Investasi,” disampaikan atas nama Majelis Pekerja Harian.

“Dengan rasa prihatin yang mendalam, kita menyaksikan krisis ekologis yang ditandai dengan hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem yang meluas, perubahan iklim yang semakin nyata, serta ketidakadilan yang menimpa masyarakat lokal,” ungkap Darwin Darmawan dengan nada sedih.

PGI menyoroti bahwa Raja Ampat saat ini berada di bawah ancaman aktivitas pertambangan nikel. Padahal, Raja Ampat adalah wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati global dan telah diakui oleh UNESCO sejak 23 Mei 2023. Selain itu, Raja Ampat juga memiliki warisan budaya yang berharga dan menjadi destinasi wisata kelas dunia yang sangat populer.

PGI menegaskan bahwa alam adalah ciptaan Allah yang sakral. Manusia bukanlah pusat dari alam semesta, melainkan merupakan bagian integral dari alam dan memiliki peran sebagai sahabat serta penatalayan (steward) alam.

“PGI dengan tegas menolak teologi antroposentris yang memandang alam hanya dari sudut pandang manusia. Manusia bukanlah pusat dan pemilik mutlak alam, melainkan bagian dari alam yang merupakan rumah bersama bagi semua makhluk hidup,” jelas Darwin.

PGI memberikan apresiasi kepada pemerintah atas tindakan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sebelumnya diberikan kepada empat perusahaan di Raja Ampat, yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera.

“Meskipun demikian, PGI mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), untuk melakukan audit dan meninjau ulang secara komprehensif laporan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) serta laporan analisis mengenai dampak sosial (AMDAS) terkait penambangan nikel di wilayah Kepulauan Raja Ampat,” tegas Darwin.

PGI mengkritik argumen yang menyatakan bahwa lokasi penambangan di pulau kecil di Raja Ampat jauh dari pusat kawasan Geopark Raja Ampat. PGI menekankan bahwa pencemaran alam dapat menyebar luas, seperti yang terjadi pada pencemaran sungai Jikwa di Tembagapura yang mencapai Timika, bahkan hingga muara yang menuju Laut Arafura.

“Oleh karena itu, tidak cukup hanya berasumsi bahwa aktivitas penambangan itu “aman” hanya karena berjarak 30-40 km dari wilayah konservasi pulau-pulau Raja Ampat,” imbuh Darwin.

Apabila terbukti ada perusahaan yang melanggar peraturan pertambangan dan mencemari lingkungan, maka pemerintah harus bertindak tegas dengan memerintahkan penghentian semua aktivitas perusahaan tersebut.

PGI menyampaikan seruan dan desakan dalam tiga poin utama sebagai berikut:

1. Industri pertambangan di seluruh Indonesia harus menerapkan praktik pertambangan yang bertanggung jawab dan mengimplementasikan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) secara konsisten.

2. Pemerintah pusat dan daerah harus lebih berhati-hati dalam menerbitkan izin kepada perusahaan pertambangan, serta wajib mematuhi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

3. Para pemimpin gereja harus menjadi pemimpin sekaligus teladan dalam mempraktikkan dan menyuarakan pertobatan ekologis, demi menjaga kelestarian alam.