JAKARTA, MasterV – Al Muzzammil Yusuf, selaku Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memberikan tanggapan terkait adanya desakan pemakzulan terhadap Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka. Beliau berpendapat bahwa hal ini mencerminkan bahwa Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi.
Pernyataan ini disampaikan oleh Muzzammil setelah awak Liputanku menanyakan perihal surat usulan pemakzulan Gibran yang diajukan oleh Forum Purnawirawan TNI dan telah dikirimkan kepada DPR.
“PKS tentu menghormati setiap dinamika politik yang terjadi. Justru inilah wujud dari negara demokrasi. Terlebih lagi, para inisiatornya adalah tokoh-tokoh pejabat, TNI, dan pihak lainnya. Saya yakin mereka memiliki kecintaan yang besar terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” ujar Muzzammil saat ditemui di Kantor DPTP PKS, Jakarta Selatan, pada hari Sabtu (7/6/2025).
Beliau kemudian menegaskan bahwa PKS akan selalu bertindak sesuai dengan koridor hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia.
“Mengenai isu tersebut, sebaiknya ditanyakan langsung kepada pihak yang menginisiasi ya. PKS menjalankan tugasnya sebagai partai politik dan anggota dewan secara konstitusional. Selama semua proses berjalan sesuai dengan konstitusi, PKS akan turut terlibat di dalamnya,” jelas Muzzammil.
Lebih lanjut, beliau juga menyatakan bahwa PKS tetap fokus untuk memberikan dukungan terhadap keberhasilan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Kami tentu berharap dan berdoa agar kepemimpinan yang terbaik hadir untuk Indonesia. Keberhasilan Bapak Prabowo Subianto adalah kebahagiaan bagi 280 juta rakyat Indonesia, termasuk PKS yang juga merupakan bagian dari bangsa ini,” tuturnya.
Muzzammil juga menyampaikan bahwa para kader PKS yang saat ini sedang menunaikan ibadah haji turut mendoakan dan mengharapkan yang terbaik bagi bangsa Indonesia.
“Jemaah Haji kita yang berada di Mekkah, di tempat yang mustajab untuk berdoa, serta ibadah kita di sini, kami mengimbau kepada kita semua untuk terus berdoa demi kebaikan bangsa dan negara di masa depan,” imbuhnya.
Desakan untuk memakzulkan Gibran memang menjadi perbincangan hangat dalam beberapa waktu terakhir, meskipun hingga saat ini belum ada proses resmi yang bergulir di lembaga legislatif.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa proses pemakzulan Gibran dari jabatannya sebagai Wakil Presiden, yang diusulkan oleh Forum Purnawirawan TNI, sebaiknya dimulai dari DPR agar dapat dianggap sebagai sebuah ekspresi politik yang sah.
“Jadi, langkah pertama harus diselesaikan terlebih dahulu di DPR. Dua per tiga (suara DPR) harus menyetujui tuntutan tersebut dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang harus dibuktikan (di MK),” kata Jimly, saat ditemui di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada hari Jumat (6/6/2025).
Jimly menjelaskan bahwa MK memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara pemakzulan. Namun, proses tersebut hanya dapat berjalan apabila DPR menyetujui usulan tersebut dengan dukungan dua per tiga suara anggota DPR dan dua per tiga dari seluruh fraksi dalam sidang paripurna.
Aturan Pemakzulan
Perlu diketahui, pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen ketiga mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, seperti: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Selanjutnya, Pasal 7A tersebut juga mensyaratkan bahwa pemberhentian dalam masa jabatan harus diawali dengan usulan dari DPR kepada MPR RI.
Pasal 7A UUD 1945 berbunyi, “Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Terlebih lagi, Pasal 7B secara rinci mengatur alur dari proses pemakzulan tersebut, yang harus melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terlebih dahulu.
Aturan mengenai pelibatan MK ini tercantum dalam Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.
Dengan kata lain, sebelum diusulkan ke MPR, DPR harus mengajukan permohonan kepada MK terlebih dahulu untuk mendapatkan keputusan.
Namun, agar permohonan tersebut dapat diajukan ke MK, mayoritas fraksi atau 2/3 anggota DPR harus memberikan persetujuan.
Setelah adanya putusan dari MK, barulah DPR dapat mengusulkan kepada MPR atau mengundang DPD, untuk mengadakan sidang MPR dengan syarat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota dan disetujui minimal oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Dalam sidang MPR tersebut, barulah akan diputuskan apakah yang bersangkutan bersalah dan dimakzulkan atau tidak. Tentu saja, ada aturan kuorum yang harus dipenuhi.
Ketentuan mengenai pemakzulan melalui MPR tercantum dalam Pasal 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar”.