Polemik Tambang Nikel Raja Ampat: Izin Dihentikan?

Admin

19/06/2025

6
Min Read

JAKARTA, MasterV – Kehadiran aktivitas penambangan nikel di wilayah wisata dan konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah menarik perhatian luas dari masyarakat, terutama karena berpotensi merusak ekosistem yang ada.

Isu ini mencuat setelah empat aktivis dari Greenpeace Indonesia dan Raja Ampat melakukan aksi protes pada acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 yang berlangsung pada 3 Juni 2025.

Dalam aksi tersebut, para aktivis menyampaikan kekhawatiran mereka mengenai dampak yang mungkin timbul akibat ekspansi pertambangan di tanah Papua.

Greenpeace menyatakan telah menyampaikan pesan kepada pemerintah dan pelaku industri nikel mengenai penderitaan yang dialami masyarakat akibat kegiatan tambang dan hilirisasi di berbagai daerah.

Industri nikel juga dinilai berkontribusi pada kerusakan lingkungan, termasuk penebangan hutan, pencemaran sumber air, sungai, laut, udara, serta memperburuk dampak krisis iklim karena masih bergantung pada PLTU captive sebagai sumber energi.

Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace, mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan aktivitas pertambangan di beberapa pulau di Raja Ampat, termasuk Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Berdasarkan analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau tersebut telah menyebabkan pembabatan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami.

Beberapa dokumentasi menunjukkan adanya limpasan tanah yang menyebabkan sedimentasi di pesisir, berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.

Aksi ini memicu meluasnya seruan tagar #SaveRajaAmpat di media sosial, yang mendapat respons positif dari warganet.

Tokoh masyarakat, mantan menteri, dan masyarakat umum mendesak pemerintah untuk menghentikan aktivitas tambang nikel di Raja Ampat guna mencegah kerusakan alam yang lebih besar.

Izin tambang dihentikan sementara

Menanggapi desakan publik yang begitu besar, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa tambang nikel di Raja Ampat dimiliki oleh PT Gag Nikel, yang merupakan anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam).

Dia menjelaskan bahwa terdapat beberapa izin pertambangan di wilayah Raja Ampat, namun saat ini hanya satu yang beroperasi, yaitu Kontrak Karya (KK) yang dimiliki oleh PT Gag Nikel.

“Yang beroperasi sekarang itu hanya satu, yaitu PT Gag Nikel, ini yang punya adalah Antam, BUMN,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/6/2025).

Perusahaan ini beroperasi berdasarkan Kontrak Karya (KK) dan terdaftar dalam sistem Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan Nomor Akte Perizinan 430.K/30/DJB/2017.

Luas wilayah izin PT Gag Nikel tercatat mencapai 13.136 hektare.

Perusahaan ini juga termasuk dalam 13 entitas tambang yang diizinkan untuk melanjutkan operasi di kawasan hutan hingga akhir masa kontraknya, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004.

Bahlil kemudian memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional tambang PT Gag Nikel.

Keputusan ini diambil menyusul kekhawatiran masyarakat dan aktivis lingkungan mengenai potensi kerusakan ekosistem Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan.

“Sekarang, tim kami sudah turun, mengecek. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, maka kami sudah memutuskan lewat Dirjen Minerba, untuk status daripada IUP PT Gag yang sekarang lagi mengelola, itu kan cuma satu ya. Itu untuk sementara kita hentikan operasinya,” ujar Bahlil.

“Sampai dengan verifikasi lapangan. Kita akan cek, tetapi apa pun hasilnya nanti akan kami sampaikan setelah kroscek lapangan terjadi,” tambahnya.

Perlu diketahui bahwa di wilayah Raja Ampat sendiri, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin usaha, yaitu PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond, dan PT Nurham.

Menteri ESDM cek langsung ke Raja Ampat

Pada hari Sabtu (7/6/2025), Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melakukan peninjauan langsung ke tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, yang dikelola oleh PT Gag Nikel.

Bahlil menyatakan bahwa kunjungannya ke Gag bertujuan untuk melihat secara langsung situasi operasi tambang dan menindaklanjuti keresahan publik terkait dampak pertambangan.

“Saya itu datang ke sini untuk mengecek langsung aja kepada seluruh masyarakat, dan saya juga melihat secara objektif apa sebenarnya yang terjadi dan hasilnya nanti dicek oleh tim saya (inspektur tambang),” ujar Bahlil dalam keterangannya di lokasi pada Sabtu.

Ia juga mengungkapkan alasan mengapa dirinya hanya meninjau tambang yang dikelola oleh PT Gag Nikel dari total lima tambang yang ada di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Bahlil menjelaskan bahwa dari 5 wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di Raja Ampat, saat ini hanya PT Gag Nikel yang beroperasi karena telah mendapatkan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).

“Dari 5 itu yang beroperasi di tahun 2025, yang mendapat RKAB itu cuma satu, yang namanya PT Gag. Jadi yang kita kunjungi itu adalah yang berproduksi,” ujar Bahlil.

Hasil peninjauan sebut kegiatan tambang tak bermasalah

Setelah melakukan peninjauan, Kementerian ESDM menyatakan bahwa kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, dinilai tidak menimbulkan masalah.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa lahan yang dibuka oleh PT Gag Nikel tergolong terbatas.

Dari total 263 hektare lahan tambang, sebanyak 131 hektare telah direklamasi, dan 59 hektare dinyatakan berhasil dalam penilaian reklamasi.

“Secara total bukaan lahannya juga enggak terlalu besar-besar amat. Dari total 263 hektare, 131 hektare sudah dilakukan reklamasi dan 59 hektare sudah dianggap berhasil penilaian reklamasinya,” ujar Tri di Papua Barat Saya pada Sabtu.

Kementerian ESDM juga menyebutkan bahwa tidak ada indikasi kerusakan pesisir dari udara.

“Kita lihat juga dari atas tadi bahwa sedimentasi di area pesisir juga tidak ada. Jadi secara keseluruhan, sebetulnya tambang ini enggak ada masalah,” lanjutnya.

Meskipun demikian, Tri menegaskan bahwa hasil peninjauan ini belum menjadi keputusan final.

Pemerintah masih menunggu hasil evaluasi menyeluruh dari inspektur tambang yang diterjunkan ke seluruh wilayah pertambangan di Raja Ampat.

“Inspektur tambang akan memberikan laporan, kemudian evaluasi menyeluruh. Mudah-mudahan enggak terlalu lama kita bisa eksekusi, apa pun nanti eksekusinya,” ucap Tri.

Masyarakat tolak izin tambang baru

Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana menyampaikan bahwa masyarakat adat Raja Ampat menyatakan penolakan terhadap rencana pemberian izin tambang baru di kawasan tersebut.

Pesan dari masyarakat tersebut disampaikan saat Kementerian Pariwisata melakukan kunjungan langsung bersama DPR RI ke Raja Ampat pada tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 2025.

“Dalam kunjungan tersebut, masyarakat menyampaikan penolakan terhadap rencana pemberian izin pertambangan baru. Mereka menegaskan bahwa ekosistem dan identitas Raja Ampat yang harus dijaga sebagai kawasan wisata, bukan wilayah industri ekstraktif,” ungkap Widiyanti yang dilansir dari siaran pers Kementerian Pariwisata pada Jumat (6/6/2025).

Ia menyampaikan bahwa telah menerima kunjungan dari Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, pada hari Rabu (4/6/2025).

Dalam pertemuan tersebut, baik Kementerian Pariwisata maupun Gubernur Papua Barat Daya berkomitmen untuk menjaga ekologi Raja Ampat.

“Pemerintah daerah menegaskan agar kawasan Raja Ampat tetap diarahkan sebagai kawasan konservasi laut, geopark UNESCO, dan destinasi unggulan pariwisata Indonesia, tanpa dikompromikan dengan aktivitas pertambangan,” tegas Widiyanti.