Tambang Raja Ampat: Rusak Alam, Pemerintah Berdalih?

Admin

20/06/2025

8
Min Read

JAKARTA, MasterV – Raja Ampat, permata wisata di Papua Barat Daya, kembali menjadi sorotan publik.

Sayangnya, atensi kali ini bukan karena keindahan baharinya, melainkan akibat eksistensi tambang nikel yang berpotensi merusak lingkungan.

Informasi ini pertama kali diungkap oleh Greenpeace Indonesia.

Organisasi tersebut bahkan menegaskan bahwa aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua, terjadi di beberapa pulau kecil, termasuk Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Padahal, ketiga pulau ini seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, karena termasuk kategori pulau-pulau kecil yang dilarang untuk dieksploitasi pertambangan.

“Dalam ekspedisi menjelajahi Tanah Papua tahun lalu, Greenpeace mendapati aktivitas pertambangan di beberapa pulau di Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran,” jelas Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, dalam keterangan resminya pada hari Selasa (3/6/2025).

Berdasarkan analisis yang dilakukan Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau tersebut telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami yang khas.

Dari dokumentasi yang diperoleh, terlihat jelas adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di wilayah pesisir.

Limpasan tanah ini merupakan konsekuensi dari pembabatan hutan dan penggalian tanah yang masif.

Sedimentasi ini berpotensi merusak keindahan karang dan ekosistem perairan Raja Ampat yang sangat berharga.

Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, terdapat juga dua pulau kecil lainnya di Raja Ampat yang juga terancam oleh aktivitas tambang nikel.

Kedua pulau tersebut adalah Pulau Batang Pele dan Manyaifun.

Kedua pulau ini terletak berdekatan dan berjarak sekitar 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang ikonik dan terpampang pada uang pecahan Rp 100.000.

Diprotes masyarakat

Aktivitas penambangan di Raja Ampat memicu gelombang protes dari masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai platform media sosial.

Media sosial diramaikan dengan penggunaan tagar #SaveRajaAmpat.

Banyak dari mereka yang mengungkapkan keinginan untuk berwisata ke Raja Ampat, namun merasa kecewa karena adanya ancaman kerusakan alam akibat aktivitas tambang nikel sebelum mereka sempat berkunjung.

Menteri Pariwisata Widianti Putri Wardhana mengungkapkan bahwa masyarakat adat secara tegas menolak keberadaan tambang di Raja Ampat.

Hal ini terungkap dalam kunjungan kerjanya ke Raja Ampat bersama dengan anggota DPR RI.

"Dalam kunjungan tersebut, masyarakat menyampaikan aspirasi penolakan terhadap rencana pemberian izin pertambangan baru. Mereka menekankan pentingnya menjaga ekosistem dan identitas Raja Ampat sebagai kawasan wisata, bukan sebagai wilayah industri ekstraktif," papar Widianti.

Dihentikan sementara

Setelah polemik ini mencuat ke permukaan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengambil langkah untuk menghentikan sementara operasional tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Keputusan penghentian sementara ini diambil seiring dengan meningkatnya kekhawatiran masyarakat dan aktivis lingkungan terhadap potensi kerusakan ekosistem Raja Ampat yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan.

"(Dihentikan sejak) saat saya menyampaikan pernyataan ini. Namun, pelarangan ini bersifat sementara, bukan permanen," tegas Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, pada hari Kamis (5/6/2025).

Ia menjelaskan bahwa terdapat beberapa izin pertambangan nikel di Raja Ampat, namun saat ini hanya satu yang masih beroperasi, yaitu Kontrak Karya (KK) yang dimiliki oleh PT Gag Nikel (GAK), yang merupakan anak perusahaan dari PT Antam Tbk.

Saat ini, tim dari Kementerian ESDM sedang melakukan pemeriksaan secara intensif terhadap tambang nikel tersebut.

Bahlil menambahkan bahwa penghentian sementara operasional tambang ini akan berlangsung hingga tim Kementerian ESDM menyelesaikan proses verifikasi dan evaluasi terhadap seluruh aktivitas pertambangan di Raja Ampat.

"Kegiatan produksi dihentikan sementara sambil menunggu hasil peninjauan dan verifikasi dari tim kami di lapangan," imbuhnya.

Perusahaan tambang disanksi

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menjatuhkan sanksi kepada empat perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menjelaskan bahwa keempat perusahaan tersebut adalah PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa.

Prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan akan menjadi landasan utama dalam penindakan terhadap setiap pelanggaran lingkungan yang terjadi.

“Penambangan di pulau kecil merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi. KLH/BPLH tidak akan ragu untuk mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan,” tegas Hanif dalam keterangannya pada hari Kamis (5/6/2025).

Berbagai pelanggaran

Hasil pengawasan yang dilakukan menunjukkan adanya berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.

Sejatinya, keempat perusahaan tersebut telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP).

Namun, hanya PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, serta PT Anugerah Surya Pratama yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).

PT Anugerah Surya Pratama, sebuah perusahaan penanaman modal asing asal China, melakukan penambangan di Pulau Manuran seluas 746 hektar tanpa menerapkan sistem manajemen lingkungan ataupun pengelolaan air limbah larian.

"Di lokasi ini, KLH telah memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas," jelasnya.

PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag dengan luas area sekitar 6.030 hektar.

Kedua pulau ini tergolong sebagai pulau kecil, sehingga aktivitas penambangan di sana bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Saat ini, pihaknya tengah mengevaluasi persetujuan lingkungan yang dimiliki oleh PT Anugerah Surya Pratama dan PT Gag Nikel.

Apabila terbukti bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, Hanif menegaskan bahwa izin lingkungan perusahaan tersebut akan dicabut.

"PT Mulia Raymond Perkasa ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele. Seluruh kegiatan eksplorasi telah dihentikan," ungkap Hanif.

Sementara itu, PT Kawei Sejahtera Mining terbukti melakukan pembukaan tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe.

Aktivitas tersebut menyebabkan terjadinya sedimentasi di pesisir pantai.

KLH memberikan sanksi administratif berupa kewajiban pemulihan lingkungan, dan perusahaan tersebut terancam dikenakan pasal perdata.

Hanif menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 memperkuat kebijakan pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.

MK menegaskan bahwa penambangan mineral di wilayah-wilayah tersebut dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan, melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi.

Protes berlanjut

Meskipun demikian, gelombang protes terus berlanjut meskipun Bahlil telah menghentikan sementara izin operasinya.

Menurut Greenpeace, langkah tersebut hanyalah bersifat kosmetik belaka.

“Kami menilai ini hanyalah upaya pemerintah untuk meredam isu sementara waktu, tanpa adanya kemauan untuk melakukan peninjauan secara menyeluruh. Padahal, sudah jelas bahwa penerbitan IUP tersebut melanggar UU. Mengapa tidak berani mencabutnya?” tanya Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik.

Greenpeace mencatat bahwa pembukaan lahan untuk tambang telah menghancurkan lebih dari 500 hektar vegetasi alami, termasuk 300 hektar di Pulau Gag.

Dampaknya tidak hanya terasa di darat. Sedimentasi akibat pembukaan lahan menyebabkan lumpur mengalir ke laut dan menimbun terumbu karang.

"Banyak karang yang mati akibat sedimentasi ini,” ungkap Iqbal.

Protes dari masyarakat juga tidak terbendung ketika Bahlil mengunjungi lokasi pada hari Sabtu, pekan lalu.

Massa yang terdiri dari aktivis lingkungan dan warga adat Papua meneriakkan yel-yel "Bahlil Penipu", sebagai bentuk protes atas ketidakjujuran pemerintah dalam menangani aktivitas tambang nikel di wilayah Raja Ampat.

Teriakan “Bahlil Penipu” menggema sesaat setelah perwakilan menteri mengundang massa untuk berdialog.

Namun, niat untuk berdialog tersebut berubah menjadi kemarahan ketika massa mengetahui bahwa Menteri Bahlil meninggalkan bandara melalui pintu belakang pada pukul 07.02 WIT.

Tindakan tersebut memicu kekecewaan mendalam dari para demonstran, yang sebelumnya berharap dapat menyampaikan aspirasi mereka secara langsung.

“Bahlil penipu, karena dia hanya menyebut satu perusahaan, yaitu PT Gag Nikel, padahal di Raja Ampat ada empat perusahaan besar yang beroperasi,” tegas Uno Klawen, seorang pemuda adat Raja Ampat.

Uno menjelaskan bahwa selain PT Gag Nikel, terdapat tiga perusahaan lain yang juga masih aktif beroperasi di Raja Ampat, yaitu PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa.

Ia menilai bahwa sikap Bahlil yang menghindari massa sebagai bukti ketidakjujuran dan kurangnya keberpihakan pada rakyat.

“Kami sebagai anak adat Raja Ampat meminta negara untuk tidak menutup mata terhadap permainan elite pusat. Alam kami dirusak dan dirampok atas nama pembangunan,” tegas Uno.

Dalih pemerintah

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno berpendapat bahwa luas lahan Pulau Gag yang dibuka untuk pertambangan nikel tidak terlalu signifikan.

Ia diketahui turut serta meninjau langsung aktivitas tambang nikel di Pulau Gag, bersama dengan Bahlil.

Selain itu, ia juga menyoroti total bukaan lahan yang telah direklamasi oleh PT GAG Nikel.

"Secara total, bukaan lahannya tidak terlalu besar. Dari total 263 hektar, 131 hektar sudah direklamasi dan 59 hektar sudah dianggap berhasil reklamasinya," ungkap Tri.

Berdasarkan pantauan Tri dari udara menggunakan helikopter, ia mengklaim tidak melihat adanya sedimentasi di area pesisir.

Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa tambang GAG tidak menimbulkan permasalahan.

"Secara keseluruhan, tambang tidak ada masalah," ujarnya.

Terbaru, Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, justru menyatakan bahwa hampir sebagian besar masyarakat di Pulau Gag menolak penutupan perusahaan eksplorasi nikel.

Alasannya, sebagian besar mata pencarian masyarakat di pulau tersebut berasal dari aktivitas tambang.

Orideko menyebutkan bahwa tidak ada pencemaran lingkungan di laut sekitar lokasi tambang.

Hal ini didasarkan pada hasil kunjungan Menteri ESDM dan Gubernur Papua Barat Daya ke Pulau Gag.

"Jadi, informasi yang beredar kita pantau langsung, dan ternyata kita tidak menemukan pencemaran lingkungan seperti yang beredar di media sosial. Saya mengapresiasi PT Gag Nikel yang terus melakukan pengawasan melalui amdal agar tidak ditemukan masalah di kemudian hari," kata Orideko di Sorong pada hari Senin (9/6/2025).

Ia pun mengklaim bahwa kunjungan wisatawan ke Raja Ampat masih berjalan normal.

"Saya menerima pesan dari masyarakat Pulau Gag Nikel untuk disampaikan kepada Bapak Menteri Bahlil, bahwa mereka tidak ingin Bapak Menteri menutup tambang tersebut, itulah yang diinginkan masyarakat," pungkasnya.