Respon atas Pencabutan Izin Tambang Nikel Raja Ampat

Admin

25/06/2025

7
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Sebuah langkah penting telah diambil oleh Presiden Prabowo Subianto dengan mencabut secara resmi Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dari empat perusahaan di antara lima perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, efektif mulai Selasa, 10 Juni 2025.

Keempat perusahaan yang terdampak pencabutan izin ini adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Melia Raymond Perkasa, dan PT Kawai Sejahtera Mining. Tindakan ini diambil karena aktivitas pertambangan mereka dinilai telah melanggar peraturan lingkungan yang berlaku di kawasan geopark tersebut.

Keputusan pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat ini tentu saja memicu beragam reaksi dari berbagai pihak terkait.

Salah seorang yang memberikan tanggapannya adalah Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Beliau memandang langkah yang diambil oleh Presiden Prabowo Subianto ini sebagai sebuah keputusan yang tepat, tegas, serta memiliki visi yang jauh ke depan.

Dalam pernyataan resminya, Khairul Fahmi menekankan betapa pentingnya peran negara dalam menjaga keseimbangan antara investasi dan keberlanjutan lingkungan.

“Stabilitas keamanan suatu wilayah, terutama yang memiliki nilai strategis tinggi seperti Raja Ampat, baik dari sisi ekologis maupun geopolitik, tidak dapat dipisahkan dari bagaimana negara mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan,” ungkap Fahmi pada Selasa, 10 Juni 2025.

“Keputusan Presiden untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan pada bulan Januari, bahkan sebelum laporan publik ramai diperbincangkan di media sosial, adalah sebuah langkah preventif dan responsif terhadap potensi konflik sosial, degradasi lingkungan, serta ancaman terhadap keamanan wilayah,” lanjutnya.

Selain itu, Greenpeace juga memberikan apresiasi atas respon cepat pemerintah dalam mencabut IUP keempat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat.

Menurut Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, kabar ini adalah sebuah kemenangan, bukan hanya bagi gerakan masyarakat sipil, tetapi juga berkat gerakan masyarakat adat Papua yang telah aktif bergerak dan berkampanye bersama.

“Kami menyambut gembira kabar baik yang datang dari pemerintah hari ini, meskipun responsnya agak terlambat. Sebenarnya, rekan-rekan lain sudah menyuarakan hal ini sejak beberapa tahun lalu, tetapi tidak pernah mendapatkan tanggapan dari pemerintah. Fenomena ‘No viral, no justice’ tampaknya masih relevan di negara ini,” ujar Kiki kepada Liputanku, pada Selasa, 10 Juni 2025.

Berikut ini adalah rangkuman dari berbagai tanggapan yang muncul setelah Presiden Prabowo secara resmi mencabut IUP nikel dari empat di antara lima perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat, yang dikumpulkan oleh Tim News Liputanku:

Pemerintah Indonesia telah secara resmi mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada hari Selasa, 10 Juni 2025.

Keputusan krusial ini diambil setelah ditemukan indikasi pelanggaran serius terhadap aturan konservasi lingkungan. Hal ini merupakan tindak lanjut dari hasil inspeksi lapangan yang melibatkan lintas kementerian dan tekanan publik yang semakin meningkat dalam beberapa hari terakhir.

Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyampaikan bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto adalah keputusan yang tepat, tegas, dan visioner. Dalam penjelasannya, beliau menyoroti esensi peran negara dalam menyeimbangkan investasi dan keberlanjutan.

“Keputusan Presiden menerbitkan Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan pada Januari, bahkan sebelum ramainya laporan publik di media sosial, merupakan langkah preventif dan responsif terhadap potensi konflik sosial, degradasi ekologis, dan ancaman keamanan wilayah,” tegasnya.

Langkah ini sekaligus mengindikasikan bahwa pemerintah berpegang pada prinsip rule of law. Beliau menambahkan bahwa tetap beroperasinya PT Gag, karena lokasinya di luar kawasan Geopark dan telah memenuhi standar lingkungan, mencerminkan bahwa pemerintah tidak anti terhadap dunia usaha, melainkan mendukung investasi yang bertanggung jawab.

“Pemerintah bekerja berdasarkan rule of law, bukan tekanan viralitas semata,” tegas Fahmi.

Lebih lanjut, Fahmi mengamati bahwa penanganan isu pertambangan di Raja Ampat dilakukan dengan serius, terkoordinasi, dan dengan visi yang jauh ke depan, berkat pendekatan holistik yang melibatkan lintas kementerian seperti ESDM, KLH, Kemenhut, dan lainnya.

“Ini bukan semata respons atas keresahan sesaat, tetapi pernyataan sikap jangka panjang: bahwa Indonesia membangun tanpa mengorbankan masa depan,” jelas Fahmi.

Menurutnya, di bawah kepemimpinan yang responsif dan berorientasi masa depan, Indonesia membuktikan bahwa negara hadir bukan hanya untuk mengatur, melainkan juga untuk melindungi.

“Raja Ampat adalah warisan bersama yang harus dijaga, bukan hanya oleh satu generasi, tetapi lintas zaman. Kini saatnya memastikan bahwa langkah-langkah berani ini terus berlanjut hingga ke seluruh pelosok negeri yang menghadapi ancaman serupa. Negara telah bertindak, dan kita semua tentunya harus ikut menjaga komitmen itu tetap hidup,” pungkasnya.

PT Gag Nikel tidak termasuk dalam daftar 4 perusahaan yang izin usaha pertambangannya (IUP) dicabut oleh pemerintah. Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyatakan bahwa PT Gag Nikel telah memenuhi seluruh persyaratan legal dan teknis sebagai perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat.

“PT Gag adalah anggota APNI yang telah menerima berbagai pengakuan resmi, mulai dari Good Mining Practice hingga Proper dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami telah melakukan verifikasi,” jelas Meidy dalam keterangan yang diterima pada Selasa, 10 Juni 2025.

“PT Gag beroperasi jauh dari kawasan konservasi dan telah menjalankan praktik pertambangan sesuai dengan regulasi yang berlaku,” tambahnya.

Meidy juga berpendapat bahwa banyak informasi visual yang beredar tidak akurat, bahkan diduga merupakan hasil manipulasi. Hal ini dikarenakan sulitnya membedakan antara visual asli dan yang telah dimodifikasi.

“Faktanya, kondisi di lapangan tidak seperti yang digambarkan di media sosial,” tegasnya.

Terkait pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Kementerian ESDM terhadap empat perusahaan di Raja Ampat, Meidy memastikan bahwa tidak satu pun dari perusahaan tersebut merupakan anggota resmi APNI. Pihaknya masih melakukan verifikasi terhadap kelengkapan legalitas keempat perusahaan tersebut.

“Keempat perusahaan tersebut memang bukan anggota kami. Kami masih memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen mereka. Namun, yang pasti, PT Gag bukan bagian dari mereka dan telah lama terverifikasi sebagai anggota kami,” tegas Meidy.

Meidy menambahkan bahwa pencabutan IUP ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki koordinasi antar lembaga pemerintah. Pasalnya, banyak perusahaan yang telah memiliki IUP dari Kementerian ESDM, namun terkendala perizinan lain seperti Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan yang kuotanya terbatas.

“Kadang-kadang, koordinasi antara pemerintah provinsi dan pusat juga tidak berjalan lancar. Akibatnya, pengusaha dirugikan, dan negara pun berpotensi kehilangan pendapatan,” ujarnya.

“APNI berharap pemerintah dapat menciptakan ekosistem regulasi yang sinkron antar instansi dan menjamin kepastian berusaha, tanpa mengabaikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola,” pungkasnya.

Greenpeace menyambut baik keputusan pemerintah untuk mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) yang aktif di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Namun demikian, Greenpeace tetap mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan penuh dan permanen bagi seluruh ekosistem Raja Ampat, dengan mencabut semua izin pertambangan, baik yang aktif maupun tidak aktif.

“Greenpeace Indonesia mengapresiasi keputusan ini, tetapi kami masih menunggu surat keputusan resmi dari pemerintah yang dapat diakses secara terbuka oleh publik,” ujar Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, dalam keterangannya pada Selasa, 10 Juni 2025.

“Kami juga tetap menuntut perlindungan penuh dan permanen bagi seluruh ekosistem Raja Ampat, dengan mencabut semua izin pertambangan yang aktif maupun yang tidak aktif,” sambungnya.

Terlebih lagi, menurut Taufik, ada preseden di mana izin-izin yang telah dicabut sebelumnya pernah diterbitkan kembali, termasuk di Raja Ampat, karena adanya gugatan dari perusahaan.

“Greenpeace Indonesia mengajak publik untuk terus mengawasi langkah pemerintah dalam merestorasi wilayah-wilayah yang telah dirusak oleh aktivitas pertambangan agar dikembalikan ke fungsi ekologisnya,” kata Taufik.

Greenpeace juga mendesak pemerintah untuk mengatasi konflik sosial yang muncul di tengah masyarakat akibat keberadaan aktivitas tambang.

“Serta memastikan keselamatan dan keamanan masyarakat yang sebelumnya menyuarakan penolakan terhadap tambang nikel di kawasan Raja Ampat,” tegas Taufik.

Tidak hanya di Raja Ampat, Taufik melanjutkan, izin tambang nikel di pulau-pulau kecil di wilayah lain di Indonesia timur telah menyebabkan kerusakan lingkungan serta menyengsarakan kehidupan masyarakat adat dan lokal.

“Kami mendesak pemerintah untuk juga melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin tambang tersebut,” tegas Taufik.

Taufik menambahkan bahwa seluruh pembangunan di Indonesia, khususnya di tanah Papua, harus tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan, serta pelibatan publik secara bermakna.

“Serta persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa) jika menyangkut masyarakat adat dan komunitas lokal,” jelas Taufik.