JAKARTA, MasterV – Polemik mengenai pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke permukaan setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI melayangkan surat kepada DPR dan MPR pada Senin, 2 Juni 2025.
Surat penting tersebut dibubuhkan tanda tangan oleh empat tokoh purnawirawan, yaitu Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
“Dengan surat ini, kami mengajukan usulan kepada MPR RI dan DPR RI agar segera menjalankan proses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” demikian isi surat yang disampaikan.
Proses yang Panjang dan Berliku
Walaupun surat tersebut telah diterima oleh DPR, proses untuk memulai pemakzulan Gibran dari jabatannya sebagai Wakil Presiden diperkirakan akan memakan waktu yang sangat lama.
Hal ini ditegaskan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR yang juga menjabat sebagai Sekretaris Fraksi Partai Nasdem, Ahmad Sahroni.
Menurutnya, proses pemakzulan terhadap pimpinan negara bukanlah sebuah perkara yang dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
“Saya berpendapat bahwa prosesnya akan sangat panjang dan tidak sesederhana yang kita bayangkan,” ungkap Sahroni kepada Liputanku, Selasa, 3 Juni 2025.
Proses yang berlarut-larut ini tidak hanya melibatkan DPR saja, tetapi juga akan berkaitan erat dengan MPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa Forum Purnawirawan TNI atau pihak manapun berhak untuk mengirimkan surat tuntutan kepada DPR.
Namun, Sahroni mengingatkan bahwa Sekretariat Jenderal DPR akan melakukan seleksi untuk menentukan surat mana yang akan diprioritaskan terlebih dahulu.
“Pengiriman surat diperbolehkan dari pihak manapun. Akan tetapi, penentuan surat mana saja yang akan diprioritaskan menjadi bagian dari administrasi Kesetjenan DPR RI,” jelas Sahroni.
Berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, proses pemakzulan presiden atau wakil presiden harus diawali dengan sidang pleno DPR yang dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota.
Selanjutnya, 2/3 dari peserta sidang pleno harus menyetujui bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindakan korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Kemudian, 2/3 dari peserta sidang pleno DPR harus menyetujui bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindakan korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Setelah DPR menyetujui hal tersebut, hasil sidang pleno akan diteruskan ke MK untuk diputuskan apakah terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden atau tidak.
Apabila MK memutuskan bahwa terdapat pelanggaran, hasil dari lembaga tersebut akan dibawa ke MPR untuk diproses lebih lanjut terkait pemakzulan.
Di MPR, keputusan pemakzulan akan diambil melalui Keputusan MPR jika sidang pleno dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan disetujui oleh 2/3 dari anggota yang hadir.
Tantangan Politik yang Signifikan
Selain prosesnya yang panjang, upaya pemakzulan Gibran juga akan menghadapi tantangan politik yang sangat besar. Hal ini diungkapkan oleh Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ganjar Pranowo.
Menurut Ganjar, pemakzulan akan menjadi sangat sulit karena Gibran mendapatkan dukungan kuat dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang memiliki dominasi kursi di DPR.
“Jika kita melihat komposisi kerja sama politik dalam KIM, tampaknya proses ini tidak akan berjalan dengan mudah,” kata Ganjar kepada Liputanku, Rabu, 4 Juni 2025.
Proses awal pemakzulan dimulai dengan sidang pleno yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 peserta sidang yang hadir.
Sementara itu, DPR periode 2024-2029 terdiri dari delapan fraksi dengan total 580 kursi. Sebanyak tujuh fraksi di antaranya tergabung dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Dari tujuh fraksi yang tergabung dalam KIM Plus, total kursi yang mereka miliki di DPR mencapai 470. Sedangkan PDI-P, yang berada di luar pemerintahan, hanya memiliki 110 kursi.
Ganjar menambahkan bahwa Forum Purnawirawan Prajurit TNI saat ini hanya mengirimkan surat kepada DPR dan MPR untuk memproses pemakzulan Gibran. Akan tetapi, mereka tidak menyertakan bukti konkret yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh putra sulung Joko Widodo (Jokowi) tersebut.
“Ini masih sebatas pernyataan. Akan lebih baik jika dilengkapi dengan bukti-bukti. Jika ada, hal itu akan menjadi dasar bagi DPR untuk merespons. Itu pun jika DPR memiliki suara yang bulat,” ujar Ganjar.
Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, juga berpendapat bahwa Forum Purnawirawan Prajurit TNI belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk memakzulkan Gibran.
Ia menjelaskan bahwa pemakzulan tidak dapat dilakukan semata-mata berdasarkan opini atau tekanan politik.
Proses pemakzulan harus didasarkan pada ketentuan konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Argumen-argumen yang disampaikan juga belum begitu solid secara hukum. Belum tentu ini merupakan sebuah proses hukum yang sedang digulirkan, tetapi bisa jadi ini adalah proses politik yang justru mengarahkan sorotan pemberitaan media kepada Wakil Presiden Gibran,” tutur Yance.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa pemakzulan dapat dilakukan jika presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindakan korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
“Jika kita kaitkan dengan impeachment clauses yang terdapat dalam Pasal 7A, hingga saat ini kita belum melihat adanya cantelan yang dapat digunakan untuk memberhentikan Gibran,” tegas Yance.
Surat Usulan Belum Dibaca DPR
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum membaca surat dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang berisi usulan pemakzulan Gibran.
Dasco menyebutkan bahwa surat usulan tersebut masih berada di tangan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar dan saat ini DPR sedang menjalani masa reses.
“Iya, karena ini kebetulan masa reses, saya datang pun Pak Sekjen-nya tidak ada di tempat. Saya ingin melihat suratnya, tetapi suratnya masih di Sekjen. Jadi, saya belum sempat melihat surat tersebut,” jelas Dasco.
Dasco belum dapat memberikan tanggapan terkait surat usulan pemakzulan Gibran tersebut karena ia belum membacanya secara langsung.
“Saya belum membacanya, jadi bagaimana saya bisa menanggapinya?” pungkas Dasco.