Izin Dicabut, Tambang Raja Ampat Stop Operasi Permanen!

Admin

24/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah untuk memberikan jaminan bahwa empat perusahaan tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang izinnya telah dicabut, tidak akan lagi menjalankan aktivitas operasional di masa depan.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, menyatakan bahwa pemerintah harus bertindak konsisten dalam menindak perusahaan tambang yang bermasalah, dan tindakan tersebut tidak seharusnya hanya dilakukan ketika isu tersebut menjadi perhatian publik.

"Jangan sampai setelah isu ini mereda, aktivitas penambangan kembali berlanjut," tegas Evita pada hari Rabu (10/6/2025).

Politisi dari PDI-P ini juga mendesak pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban dari keempat perusahaan tersebut dalam hal rehabilitasi lahan yang telah dibuka.

"Perusahaan-perusahaan tersebut wajib bertanggung jawab untuk melakukan penghijauan kembali dan mengembalikan wilayah yang termasuk dalam kawasan konservasi seperti kondisi semula," kata Evita.

Evita juga turut menyampaikan kritik terhadap sikap pemerintah yang cenderung memaksakan pendekatan industrialisasi berbasis pertambangan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem.

Padahal, menurut Evita, sektor pariwisata di Raja Ampat juga memiliki potensi ekonomi yang sangat signifikan.

Pada tahun 2020, pariwisata Raja Ampat memberikan kontribusi sekitar 15 persen terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan nilai mencapai Rp 7 miliar.

"Jika kita mengukur secara jujur, berapa banyak devisa yang masuk dari retribusi pariwisata, homestay lokal, dan kunjungan wisatawan asing? Bahkan di tengah situasi pandemi sekalipun, sektor ini masih menyumbang lebih dari Rp 7 miliar ke PAD,” ungkap Evita.

Menurut Evita, konsep nilai tambah tidak selalu harus melalui pengolahan mineral.

Dia berpendapat bahwa sektor pariwisata juga merupakan bentuk hilirisasi dari alam dan budaya menjadi devisa.

"Namun perbedaannya adalah, pariwisata tidak merusak. Nikel mungkin akan habis, tetapi panorama Raja Ampat dapat memberikan penghidupan bagi masyarakatnya hingga generasi mendatang jika dikelola dengan bijak,” jelas Evita.

Oleh sebab itu, Evita mengingatkan bahwa agenda hilirisasi yang seringkali digaungkan oleh pemerintah harus tetap mempertimbangkan dampak kerusakan yang mungkin ditimbulkan.

Terlebih lagi, jika ancaman kerusakan tersebut menargetkan aset strategis yang jauh lebih berkelanjutan secara ekonomi dan sosial.

“Raja Ampat bukan hanya kebanggaan Papua, tetapi juga merupakan brand internasional yang jauh lebih berharga daripada sekadar ekspor feronikel. Ini bukan hanya soal sentimen, tetapi tentang nilai ekonomi jangka panjang,” tegasnya.

“Jadi, ironisnya adalah, Indonesia mempromosikan hilirisasi di forum-forum internasional, tetapi di lapangan, kita justru melakukan penambangan di tempat yang seharusnya kita jaga dengan sungguh-sungguh,” pungkasnya.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, pemerintah secara resmi mencabut empat izin usaha tambang yang berlokasi di Raja Ampat, Papua.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil oleh Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas pada hari Senin (9/6/2025).

"Kemarin, Bapak Presiden memimpin rapat terbatas yang salah satunya membahas mengenai izin usaha pertambangan di Kabupaten Raja Ampat ini," ujar Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/6/2025).

“Dan atas arahan Bapak Presiden, beliau memutuskan bahwa pemerintah akan mencabut izin usaha pertambangan untuk empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat," lanjut Prasetyo.

Adapun keempat perusahaan yang dicabut IUP-nya adalah:

1. PT Kawei Sejahtera Mining yang berlokasi di Pulau Kawe.

2. PT Mulia Raymond Perkasa yang berlokasi di Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun.

3. PT Anugerah Surya Pertama yang berlokasi di Pulau Manuran.

4. PT Nurham yang berlokasi di Pulau Yesner Waigeo Timur.