Pemerintah Indonesia memiliki ambisi besar untuk memperluas pemanfaatan energi nuklir, dengan target pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang mencapai kapasitas hingga 35 gigawatt (GW). Rencana ambisius ini ditargetkan rampung pada tahun 2060.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, target yang signifikan ini telah secara resmi dicantumkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
"Dalam RUKN, kita menetapkan target untuk energi nuklir sebesar 35 GW pada tahun 2060. Jika kita menggunakan model landbase, ini berarti kita akan memiliki lebih dari 30 unit pembangkit listrik tenaga nuklir. Jadi, ketika kita berbicara tentang energi terbarukan, nuklir merupakan salah satu solusi penting untuk beban dasar," ungkap Eniya pada acara Human Capital Summit 2025 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Rabu (4/6/2025).
Pengembangan energi nuklir juga menjadi bagian integral dari Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2025-2034. RUPTL tersebut menetapkan dua wilayah strategis yang akan menjadi lokasi awal pengembangan PLTN, yaitu Sumatera dan Kalimantan.
"Dalam RUPTL, terdapat alokasi sebesar 500 Megawatt (MW) yang akan dibagi di dua lokasi. Sistem grid telah kita tentukan, yaitu sistem grid di Kalimantan dan Sumatera, dengan masing-masing lokasi mendapatkan 250 MW," jelas Eniya lebih lanjut.
Eniya menambahkan, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menargetkan agar PLTN dapat terhubung ke transmisi atau jaringan listrik (on-grid) mulai tahun 2032. Guna mewujudkan target tersebut, Kementerian ESDM menjalin koordinasi erat dengan berbagai kementerian/lembaga terkait, termasuk dalam pembentukan Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) atau Organisasi Pelaksana Program Energi Nuklir.
Untuk mendukung pengembangan energi nuklir yang berkelanjutan, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten, meliputi aspek operasional, keamanan, serta kemampuan untuk mengantisipasi potensi risiko. Eniya juga menyinggung insiden ledakan reaktor nuklir Chernobyl di Rusia dan Fukushima di Jepang sebagai pembelajaran penting.
"Peristiwa Fukushima pada akhirnya memicu lahirnya standar baru untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, yaitu manajemen risiko multi-bencana. Jadi, jika terjadi tsunami atau gempa bumi secara bersamaan, harus ada mitigasi khusus. Sejak Fukushima, muncul konsep standar yang lebih tinggi, yang harus menjadi acuan bagi semua negara," jelasnya.
"Oleh karena itu, ketika kita menerapkan energi nuklir, kita pasti akan mengacu pada standar yang paling baru. Dengan demikian, tingkat keselamatan akan meningkat, penerimaan masyarakat akan semakin luas melalui sosialisasi yang lebih masif, dan kebutuhan akan SDM yang kompeten akan terpenuhi," pungkas Eniya.