Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini tengah menjalankan proyek pembangunan tambak garam berskala besar di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya strategis untuk merealisasikan target swasembada pangan pada tahun 2027.
Menurut Direktur Sumber Daya Kelautan KKP, Frista Yorhanita, Rote Ndao akan dikembangkan sebagai pusat industri garam yang terintegrasi. Di wilayah ini, proses produksi garam akan mencakup seluruh tahapan, mulai dari hulu hingga hilir, termasuk sistem distribusinya. KKP berencana untuk mengembangkan kawasan seluas antara 10 ribu hingga 13 ribu hektar.
“Kita akan menciptakan sebuah kawasan industri terpadu. Ini akan melibatkan pembukaan lahan tambak garam baru dengan penerapan berbagai teknologi. Selain itu, kita juga akan mengintervensi dengan mendirikan pabrik-pabrik pengolahan untuk memproses hasil tambak, dengan tujuan agar kualitasnya memenuhi kebutuhan industri,” ungkap Frista dalam konferensi pers yang diadakan di kantor KKP, Jakarta Pusat, pada hari Rabu, 11 Juni 2025.
Penetapan Rote Ndao sebagai kawasan industri bukanlah keputusan yang diambil tanpa pertimbangan matang. Walaupun Rote Ndao termasuk dalam kategori pulau terluar Indonesia dan lokasinya relatif jauh dari pusat pasar, pemilihan ini didasarkan pada model sukses Australia dalam memilih lokasi produksi garam.
Frista menjelaskan bahwa garam produksi Australia memiliki kualitas unggul karena didukung oleh beberapa faktor kunci, seperti iklim yang sesuai, luas lahan yang memadai, dan kualitas air sebagai bahan baku utama. Rote Ndao dipilih karena memiliki kemiripan yang signifikan dengan kondisi iklim di Australia.
“Selain itu, karena aktivitas industri di sana belum terlalu padat, kualitas air lautnya masih sangat baik. Di Rote Ndao, kami menemukan area dengan hamparan lahan yang luas, mencapai sekitar 10 ribu hingga 13 ribu hektar, dan status lahannya adalah tanah milik negara,” papar Frista.
Lebih lanjut, KKP telah melakukan serangkaian penelitian untuk menguji kualitas air di Rote Ndao, dan hasilnya menunjukkan bahwa air tersebut layak untuk mendukung produksi garam. Selain itu, Rote Ndao juga memiliki danau yang berpotensi menjadi sumber bahan baku tambahan. Pemerintah menargetkan produksi garam minimal sebesar 200 ton per hektar per siklus dari kawasan tersebut.
“Kondisi ini sangat mirip dengan tolok ukur yang kami tetapkan, yaitu Australia. Kami sangat berharap, dengan adanya kemiripan ini, produksi garam di Rote Ndao nantinya dapat menyerupai kualitas yang dihasilkan di Australia,” jelas Frista.