Seringkali, para pekerja kelas menengah merasa penghasilan mereka pas-pasan. Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun sulit untuk menabung atau berinvestasi agar bisa meningkatkan taraf hidup.
Eko Endarto, seorang Perencana Keuangan dari Finansia Consulting, menyarankan agar pekerja kelas menengah tidak hanya mengeluhkan gaji yang stagnan. Lebih baik, mereka mulai menata pengeluaran agar lebih efektif dan efisien.
Menurutnya, selama ini banyak pekerja yang terpaku pada upaya meningkatkan penghasilan. Padahal, pengeluaran mereka juga terus membengkak. Akibatnya, sebesar apapun pendapatan, tetap saja terasa kurang.
“Kita harus pahami dulu prosesnya, ya. Pasti ada pemasukan dan pengeluaran. Jadi, intinya ada dua hal: apakah pemasukan ditambah atau pengeluaran dikurangi?” jelasnya kepada detikcom.
“Kebanyakan dari kita selalu berpikir bagaimana cara menambah penghasilan. Padahal, jika pengeluaran tidak diatur, sebanyak apapun penambahan pendapatan akan sia-sia. Jadi, saran saya, cobalah kelola dulu pengeluaran. Pengeluaran ini yang perlu ditata,” lanjut Eko.
Terkait cara mengelola pengeluaran, Eko berpendapat bahwa seseorang harus terlebih dahulu memilah mana pengeluaran wajib dan mana yang bisa ditunda. Contoh pengeluaran wajib adalah membayar utang, pajak, atau memenuhi kebutuhan pokok.
Sementara itu, pengeluaran yang sebaiknya ditahan adalah pengeluaran yang bersifat keinginan. Artinya, jika pekerja kelas menengah tidak memilikinya, mereka tetap tidak akan mengalami masalah.
“Masalahnya, seringkali keinginan lebih besar daripada kebutuhan dan kewajiban. Itulah masalahnya. Katakanlah, misalnya, menonton film. Sekarang stasiun TV sudah banyak sekali. Sebenarnya tidak kurang jika hanya untuk menonton. Hanya saja, kita memilih untuk menggunakan Netflix, misalnya. Bukan berarti tidak boleh, tetapi jika kondisi keuangan kita sedang tidak memungkinkan, ya tidak harus juga, kan? Ditahan dulu masih bisa,” terang Eko.
Senada dengan Eko, Tejasari, seorang Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting, juga berpendapat bahwa pekerja kelas menengah sebaiknya mengatur pengeluaran agar bisa lebih cepat mencapai kebebasan finansial. Setidaknya, jangan sampai uang habis terlalu cepat untuk hal-hal konsumtif.
“Sebenarnya, pilihan itu banyak di pasaran. Tinggal kita memilih yang sesuai dengan penghasilan. Tidak usah bergaya, tetapi malah berutang. Lebih baik sesuaikan dengan kemampuan,” kata Tejasari.
Ia mencontohkan kebutuhan transportasi. Jika seorang pekerja membutuhkan motor, sebaiknya membeli motor dengan harga yang sesuai dengan dana yang dimiliki daripada memaksakan diri membeli motor yang lebih mahal dengan cara mencicil.
“Kita punya uang Rp 5 juta, bisa dapat motor bekas. Mungkin ada, atau nambah sedikit. Tapi, ternyata kita tidak mau yang Rp 5 juta. Lebih baik uang itu untuk DP, lalu membeli motor yang Rp 25 juta. Artinya, sisanya harus dicicil. Cicilnya dari mana? Ya, dari gaji. Jadi, habis deh uang kita,” ucapnya.
“Padahal, kalau tadi kita beli motor dulu yang seadanya, uangnya terus kita tabung, kita bisa mengembangkan aset kita jadi lebih bermanfaat daripada motor. Motor harga barunya Rp 25 juta, tahun depan sudah turun jadi Rp 20 juta, tahun depannya lagi sudah semakin habis nilainya,” sambung Tejasari.
Begitu juga dengan gaya hidup atau pilihan produk yang dibeli. Misalnya, untuk membeli produk rumah tangga atau kebutuhan sehari-hari, pekerja kelas menengah sebaiknya memilih produk atau merek yang lebih terjangkau daripada harus membeli merek tertentu hanya untuk gengsi.
Untuk mengetahui apakah pengeluaran sudah efektif atau hanya untuk gaya hidup, Tejasari menyarankan untuk membuat anggaran atau catatan pengeluaran sehari-hari. Dari sana, seseorang bisa melihat dengan lebih jelas pengeluaran mana saja yang sudah efektif dan mana yang masih membengkak.
“Jadi, caranya adalah coba kita bikin semacam budget. Kita perlu telusuri sebenarnya pengeluaran kita tuh setiap bulannya kemana saja sih. Kadang-kadang kita jadi terkaget-kaget tuh. ‘Wah, aku habis berapa juta cuma buat makan’ misalnya, atau cuma buat *subscribe*, ternyata ada 10 apa saja tuh di-*subscribe* semuanya ya. Mulai dari Netflix lah, apalah, segala rupa,” paparnya.
“Itu yang membuat kita jadi nggak pernah bisa kaya. Karena apa? Karena cara berpikir kita membuat kita miskin sendiri. Coba kalau kita berpikir, yasudah seadanya dulu soalnya dana darurat belum punya, belum punya investasi segala macam, yasudah lah pakai seadanya dulu. Itu sebenarnya nggak masalah,” tegasnya.