Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri menegaskan bahwa pelaku yang terbukti melakukan manipulasi data beras akan menghadapi konsekuensi serius. Sanksi yang menanti mereka adalah denda sebesar Rp 10 miliar dan hukuman kurungan penjara hingga 4 tahun. Pernyataan tegas ini disampaikan oleh Kepala Satgas Pangan Polri, Helfi Assegaf, sebagai tindak lanjut dari temuan kejanggalan data beras yang terjadi di Pasar Cipinang.
Kejanggalan ini pertama kali diendus oleh Kementerian Pertanian (Kementan) di tengah lonjakan harga beras yang meresahkan. Data yang dihimpun dari Food Station Tjipinang Jaya menunjukkan anomali yang mencolok, di mana stok awal beras tercatat mencapai 55.853 ton.
Namun, pergerakan beras yang tercatat justru menimbulkan pertanyaan. Hanya 2.108 ton beras yang masuk, sementara volume beras yang keluar mencapai 11.410 ton. Ironisnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, rata-rata beras yang keluar dari gudang Cipinang hanya berkisar antara 1.400 hingga 3.500 ton.
"Logikanya sederhana, jika tren harga beras di tingkat penggilingan mengalami penurunan, maka harga di tingkat konsumen juga seharusnya ikut turun. Bukan malah sebaliknya, melonjak naik. Jika terjadi kenaikan harga yang tidak wajar, maka patut dicurigai adanya praktik yang tidak beres. Inilah yang sedang kami dalami secara mendalam," ujar Helfi saat ditemui di kantor Kementan, Jakarta Selatan, pada hari Selasa (3/6/2025).
Satgas Pangan terus berupaya menggali motif di balik kejanggalan ini, serta mencocokkan fakta di lapangan dengan data yang ada. Helfi menegaskan bahwa jika ditemukan ketidaksesuaian antara fakta dan data yang dilaporkan, maka dapat dipastikan telah terjadi tindakan manipulasi data.
"Ancaman hukumannya jelas. Berdasarkan Undang-Undang Perdagangan pasal 108, manipulasi data diancam dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 10 miliar. Oleh karena itu, memberikan data, apalagi data resmi pemerintah yang dijadikan acuan, tidak boleh dilakukan secara sembarangan," tegas Helfi.
Selain jeratan hukum terkait manipulasi data, pelaku juga berpotensi dijerat dengan tindak pidana lain, seperti penggelapan atau bahkan tindak pidana korupsi. Namun, untuk menjerat pelaku dengan pasal-pasal tersebut, diperlukan penyelidikan yang lebih mendalam.
"Kami akan mengkombinasikan data-data dasar yang ada, kemudian melakukan pengecekan fisik di lapangan. Apakah benar barangnya ada? Apakah barang itu keluar, tetapi fisiknya tidak ada? Atau mungkin barang yang keluar hanya seribu ton, tetapi dilaporkan dua ribu ton? Apa yang sebenarnya dimainkan di sini? Atau sebaliknya, barangnya ada dua ribu ton, tetapi dilaporkan hanya seribu ton, berarti ada yang tidak beres. Nantinya, kita akan telusuri lebih lanjut, apakah ini mengarah pada tindak penggelapan, tindak pidana korupsi, atau jenis tindak pidana lainnya," pungkas Helfi.