Gratis SD-SMP Swasta: Golkar Soroti Sekolah NU & Muhammadiyah

Admin

02/06/2025

2
Min Read

On This Post

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, memberikan sorotan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewajiban menggratiskan sekolah selama 9 tahun, meliputi SD dan SMP, baik di sekolah negeri maupun swasta. Muncul kekhawatiran bahwa partisipasi aktif masyarakat dalam dunia pendidikan justru dapat merosot setelah adanya putusan tersebut.

"Menurut pandangan saya, bahaya terbesarnya adalah potensi matinya partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan. Padahal, partisipasi publik memegang peranan krusial dalam memajukan pendidikan," ungkap Sarmuji di media center Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Jakarta, Rabu (28/5/2025).

Sarmuji mengemukakan contoh, beberapa organisasi masyarakat (ormas) seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah lama berkontribusi dalam bidang pendidikan. Berkaitan dengan putusan MK ini, Sarmuji menyuarakan kekhawatiran bahwa negara mungkin mengalami kesulitan dalam merealisasikannya.

"Ambil contoh Muhammadiyah dan NU, yang memiliki lembaga pendidikan dengan jumlah yang sangat banyak. Jika keputusan MK ini bersifat imperatif, dan negara harus menyediakan anggaran yang sangat besar, saya khawatir, kita semua khawatir, keputusan MK ini akan sulit diwujudkan oleh pemerintah," paparnya.

Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI tersebut berharap agar MK lebih cermat dalam melihat realitas di lapangan sebelum mengambil keputusan, mengingat sifat final dan mengikat dari putusan MK. "Namun, kami mengimbau dan meminta MK untuk lebih memperhatikan realitas yang ada sebelum memutuskan suatu perkara," ujarnya.

Sebelumnya, MK telah memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan biaya pendidikan wajib belajar selama sembilan tahun di sekolah negeri dan swasta. Terdapat sejumlah pertimbangan yang mendasari putusan MK tersebut.

Putusan tersebut diumumkan oleh hakim MK dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jakarta Pusat, pada hari Selasa (27/5). MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Permohonan dengan nomor 3/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sedangkan Riris berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat," demikian pernyataan Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.