MK Gratiskan SD-SMP Swasta: DPR Usul Dana Pendidikan!

Admin

06/06/2025

4
Min Read

On This Post

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, memberikan respons positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 34 ayat 2, khususnya frasa ‘tanpa memungut biaya’. Beliau menegaskan komitmennya untuk mengawal implementasi putusan MK tersebut.

Mengawali penjelasannya, Hetifah mengidentifikasi tiga tantangan utama dalam mengimplementasikan keputusan ini. Tantangan tersebut meliputi aspek pembiayaan sekolah swasta, kapasitas anggaran pemerintah yang tersedia, serta kemandirian dan kualitas yang dimiliki oleh sekolah swasta.

“Walaupun selama ini sekolah swasta telah menerima bantuan dari negara melalui mekanisme seperti BOS, jumlahnya seringkali belum mencukupi untuk menutupi seluruh biaya operasional sekolah. Oleh karena itu, alokasi dana BOS perlu ditingkatkan secara signifikan, dan pemerintah daerah juga perlu mengalokasikan anggaran tambahan melalui APBD. Untuk mencapai hal ini, anggaran ‘mandatory spending‘ untuk pendidikan, yang minimal sebesar 20% dari APBN/APBD, harus dialokasikan secara prioritas dan tepat sasaran,” ujar Hetifah melalui pesan tertulis kepada wartawan pada hari Jumat (30/5/2025).

Namun demikian, beliau juga menyoroti potensi risiko yang mungkin timbul akibat putusan MK ini. Menurutnya, sekolah swasta dapat kehilangan otonomi dalam pengelolaan jika terlalu bergantung pada pendanaan dari negara, yang berpotensi menghambat inovasi dalam pendidikan.

“Oleh karena itu, saya mengusulkan reformasi dalam alokasi dana pendidikan dengan mengoptimalkan penggunaan 20% anggaran pendidikan dan mengalokasikan kembali dana dari proyek-proyek yang tidak mendesak. Skema pendanaan yang ideal adalah pemerintah memberikan subsidi penuh kepada sekolah swasta yang berbiaya rendah, sementara sekolah swasta premium tetap diizinkan untuk memungut biaya tambahan dengan pengawasan yang ketat,” jelasnya.

Lebih lanjut, Hetifah mendorong agar dana BOS untuk sekolah swasta ditingkatkan baik dari segi cakupan maupun nilai nominalnya. Selain itu, penyaluran dana ini harus dilakukan tepat waktu dan menerapkan mekanisme afirmasi berupa pemberian dana tambahan khusus kepada sekolah swasta yang berada di daerah tertinggal.

“Aspek krusial dalam implementasi putusan ini adalah konsistensi regulasi dan harmonisasi antara putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024, UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2022 tentang Pendanaan Pendidikan. Selain itu, Permendikbud terkait BOS juga perlu diperkuat,” tegas Hetifah.

Beliau juga menekankan bahwa keberhasilan implementasi putusan ini sangat bergantung pada koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengalokasian dana, serta peran aktif pemerintah dalam mengawasi implementasi untuk menjamin kesetaraan antara sekolah negeri dan swasta.

“Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah melaksanakan putusan ini secara bertahap. Pada tahap awal, pemerintah dapat memprioritaskan sekolah swasta yang berbiaya rendah dan berada di daerah tertinggal, kemudian secara bertahap memperluas pendanaan secara merata dengan melakukan evaluasi berkala,” kata politisi dari Partai Golkar tersebut.

Dalam konteks legislasi, beliau menyampaikan bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun revisi UU Sisdiknas. Hetifah menegaskan bahwa putusan MK ini akan menjadi masukan utama dalam merancang skema pembiayaan pendidikan di masa depan.

“Komisi X berkomitmen untuk mengawal pelaksanaan putusan MK ini agar tidak hanya menjadi kebijakan yang populer sesaat, tetapi juga menjadi langkah strategis untuk memperkuat sumber daya manusia bangsa. Pendidikan dasar gratis adalah fondasi penting bagi kemajuan Indonesia,” pungkas Hetifah.

Keputusan MK

Seperti yang telah diketahui, hakim MK telah mengambil keputusan untuk menggratiskan wajib belajar selama 9 tahun, baik di sekolah negeri maupun swasta, pada hari Selasa (27/5). Sebagian dari gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dikabulkan oleh MK.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat'”, demikian pernyataan Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan amar putusan pada hari Rabu (28/5).

Dalam pertimbangannya, hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menilai bahwa frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya berlaku untuk sekolah negeri menimbulkan kesenjangan. Akibatnya, menurut Enny, terdapat keterbatasan daya tampung di sekolah negeri yang memaksa sebagian peserta didik untuk bersekolah di sekolah swasta.

“Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa,” papar Enny.

MK berpendapat bahwa negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, menurut Enny, frasa ‘tanpa memungut biaya’ dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.

Simak Video ‘Tanggapan Wamendikdasmen Setelah MK Beri Putusan soal Sekolah Gratis’: