JAKARTA, MasterV – Sejarah peradaban Jawa Kuna (dari abad ke-8 hingga abad ke-15 Masehi) mencatat keberadaan kerajaan-kerajaan besar yang gemilang, yang telah memiliki sistem hukum yang terstruktur.
Catatan mengenai aparatur penegak hukum dan landasan hukum pada masa itu terdokumentasi dalam sejumlah prasasti, seperti Prasasti Guntur (907 Masehi) dari era kerajaan Mataram Kuno, Prasasti Mula Malurung (1255 Masehi) dari era Kerajaan Kadiri, hingga kitab Nagarakertagama dari era Majapahit.
Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang bernaung di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Titi Surti Nastiti, sistem hukum pada zaman Jawa Kuna terus mengalami evolusi.
“Mulai dari era Kadiri hingga Majapahit, sistem hukum ini senantiasa mengalami penambahan dan perubahan yang signifikan di setiap kerajaan,” ungkap Titi saat dihubungi melalui sambungan telepon pada hari Jumat, 28 Mei 2025.
Pejabat Pengadilan: Keberadaan Juru Bicara
Dalam disertasinya yang berjudul "Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII-XV Masehi)", Titi menjelaskan bahwa prasasti dari era Mataram Kuna menyebutkan bahwa pejabat yang bertugas di pengadilan disebut sebagai “Sang Pamgat”, yang kemudian disingkat menjadi "samgat" atau "samget".
Pada masa tersebut, perkara yang disidangkan di pengadilan mencakup kasus pidana (tindak kejahatan) dan juga perdata (seperti perdagangan, jual beli, serta piutang).
Sementara itu, pada era Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15), pejabat kehakiman dikenal dengan sebutan “sang pragwiwaka-wyawaharanyayanyayawicchedaka”. Hal ini tertera dengan jelas pada prasasti Sukamerta (1218 Saka/1296 Masehi) dan prasasti Adan-adan (1223 Saka/1301 Masehi).
“Mereka adalah hakim yang memiliki kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dalam suatu perselisihan,” jelas Titi lebih lanjut.
Selain itu, terdapat pula jabatan “sang dharmmadhikarananyayanyawya-waharawicchedaka”, yang merujuk pada pemimpin keagamaan yang memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak yang benar dan pihak yang salah.
Jabatan ini tercantum dalam prasasti Tuhañaru (1245 Saka/1323 Masehi).
Selain kedua pejabat tersebut, pada masa itu juga telah ada “sang dharmmaprawaktawyawaharawicchedaka”, yang keterangannya dapat ditemukan dalam prasasti Canggu (1280 Saka/1258 Masehi) dan prasasti Sekar (1366 Masehi).
“Jabatan ini merujuk pada juru bicara di bidang keagamaan atau hukum yang berwenang untuk memberikan putusan dalam suatu perselisihan,” papar Titi.
BRIN Arkeolog BRIN, Titi Surti Nastiti (Dok situs web BRIN)
Menurut pandangan Titi, mulai dari masa kerajaan Kadiri (1045-1222) hingga era Majapahit (1293-1527), pejabat kehakiman dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu “dharmmadhyaksa ring kasaiwan” (pemimpin keagamaan/ketua pengadilan dari golongan agama Siwa) dan “dharmmadhyaksa ring kasogatan” (pemimpin keagamaan/ketua pengadilan dari golongan agama Buddha).
Kelompok kedua adalah pejabat kehakiman yang dikenal dengan sebutan dharmma upapatti. Jumlah mereka bervariasi dalam beberapa prasasti.
Secara keseluruhan, terdapat sembilan orang yang termasuk dalam kategori ini, yaitu samgat i tiruan, samgat i ka??amuhi, samgat i manghuri, samgat i jamba, samgat i pañjang jiwa, samgat i pamwatan, samgat i tigangrat, samgat i kanuangan atuha, dan samgat i kauangan rarai.
Kewajiban Mempelajari Hukum, Raja Tidak Boleh Memihak
Titi mengungkapkan bahwa prasasti i Bendosari dan Parung yang ditulis pada masa Majapahit menyebutkan bahwa para pejabat kehakiman tidak dapat serta-merta memutuskan suatu perkara.
Sebelum memiliki wewenang tersebut, mereka diwajibkan untuk mempelajari kitab-kitab sastra dari India, peraturan daerah, hukum adat, pendapat para tetua, serta kitab-kitab hukum yang menjadi pedoman bagi para pendahulu mereka.
Selain itu, dalam kitab hukum kerajaan Majapahit, kakawin Negarakertagama pupuh 73:1, disebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk berupaya sekuat tenaga untuk menjadi raja yang bijaksana demi kesejahteraan rakyatnya.
Menurut Titi, dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa dalam menjalankan fungsi peradilan, raja tidak boleh bertindak sembarangan, melainkan harus mengikuti aturan yang tertuang dalam kitab perundang-undangan agama.
Kutipan dari Negarakertagama tersebut berbunyi:
“Raja Wilwatikta di dalam istana makin tekun dalam aktivitasnya, di pengadilan tidak memihak dan sangat hati-hati, semua aturan Agama diikuti, tidak memihak karena diberi kekayaan, adil kepada semua orang, perbuatan baik diupayakan untuk mengetahui masa yang akan datang dan sebagainya, sesungguhnya beliau penjelmaan dewa”
Peristiwa Hukum yang Diadili: Kasus Waris
Titi menjelaskan bahwa salah satu contoh peristiwa hukum pada masa Jawa Kuna adalah sengketa utang yang melibatkan penduduk Desa Guntur, Campa.
Perkara Campa ini terukir dalam prasasti Guntur (907 Masehi) yang dibuat pada era Mataram Kuna.
Prasasti tersebut menceritakan tentang seorang pria bernama Sang Dharmma yang menagih utang Campa (yang telah meninggal dunia) kepada suaminya, Pu Tabwel.
Dalam prasasti Guntur dijelaskan bahwa Sang Dharmma adalah saudara dari Campa, sementara Pu Tabwel dan Campa tidak memiliki keturunan.
“Si Campa meninggal, kemudian Pu Tabwel ditagih oleh Sang Dharmma,” demikian bunyi prasasti tersebut.
Kasus piutang ini kemudian diajukan ke pengadilan dan disidangkan oleh Samgat Pinapan Pa Guwul beserta istrinya yang bernama Pu Gallam.
Perkara tersebut kemudian diputus dengan kekalahan Sang Dharmma, karena ia tidak hadir di pengadilan.
“Bahwa tidak ada kejadian utang [sang istri] jatuh ke suami jika [utang] itu tanpa sepengetahuan suami, apalagi alasannya tidak mempunyai anak,” tulis prasasti tersebut dengan tegas.
Tidak Dikenal Hukuman Pidana Penjara
Sementara itu, pada masa Majapahit, menurut Titi, tidak dikenal adanya hukuman pidana badan atau penjara.
Perundang-undangan kerajaan Majapahit mengatur dua jenis hukuman bagi pelaku kejahatan, yaitu denda dan hukuman mati.
Titi memberikan contoh, dalam kasus pencurian, pelaku akan dihukum dengan membayar denda, bukan dengan dipenjara.
“Tidak mengenal sistem penjara. Lebih mengutamakan denda,” jelas Titi.
Namun, hukuman mati akan dijatuhkan jika kejahatan yang dilakukan tergolong sangat berat.
Untuk tindak kejahatan seperti pencurian, hukuman yang diberikan cenderung berupa denda.
“Kalau kejahatannya sudah terlalu berat, barulah dijatuhi hukuman mati,” pungkasnya.