Sempat Berhenti Bekingi Situs Judol, Denden Kembali Terlibat Setelah Dengar Nama Budi Arie

Admin

24/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV — Terdakwa Adhi Kismanto dan Muhrijan alias Agus meyakinkan Denden Imadudin Soleh untuk kembali terlibat dalam praktik perlindungan situs judi online (judol) agar tidak diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang kini berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Sebelumnya, Denden sempat berhenti dari praktik tersebut lantaran sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal Kominfo. Posisi itu kemudian digantikan oleh Syamsul Arifin, yang juga kini menjadi salah satu terdakwa.

Setelahnya, Denden menjabat sebagai Ketua Tim Penyidikan dan Ahli Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di kementerian yang sama.

Tak hanya membujuk Denden, Adhi dan Agus juga berupaya meyakinkan Syamsul Arifin agar ikut terlibat dalam praktik serupa. Pertemuan yang membahas hal itu dihadiri oleh Agus, Denden, Adhi, Syamsul, dan Alwin Jabarti Kiemas. Adhi pun bergabung setelah diyakinkan oleh Agus.

Fakta ini terungkap saat Denden bersaksi sebagai saksi mahkota dalam sidang kasus dugaan perlindungan situs judol di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2025).

Dalam perkara tersebut, terdakwa utamanya adalah Alwin Jabarti Kiemas, Zulkarnaen Apriliantony alias Tony, Muhrijan alias Agus, dan Adhi Kismanto.

“Waktu itu hanya sampaikan bahwa, 'ni sudah oke bahwa ini bisa berjalan lagi penjagaan ini sehingga tidak perlu khawatir. Karena sudah diketahui oleh orang yang di atas',” ujar Denden dalam persidangan.

Jaksa kemudian menggali lebih lanjut pernyataan tersebut dan menanyakan siapa yang menyampaikannya.

“Waktu itu saudara Muhrijan dan saudara Adhi,” jawab Denden.

“Sudah diketahui yang di atas. Siapa yang dimaksud mereka?” tanya jaksa.

“Yang mereka maksud adalah Pak Menteri (saat itu dijabat oleh Budi Arie Setiadi),” kata Denden.

Menurut dia, pertemuan tersebut bertujuan untuk meyakinkan Syamsul agar seluruh rencana berjalan lancar. Ia juga mengakui kembali terlibat dalam praktik itu, meskipun pembahasan tarif tidak terjadi dalam pertemuan itu.

“Seingat saya di situ tidak membicarakan tarif, karena tarif dari mereka bertiga. Waktu itu, Adhi, Alwin, dan saudara Agus. Kami hanya akan dialokasikan dari tarif tersebut,” tutur Denden.

Selama menjabat sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal, Denden menjalankan praktik ini sejak September 2023 hingga Januari 2024.

Ia kemudian dipindahtugaskan menjadi Ketua Tim Penyidikan dan Ahli Undang-Undang nformasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Kementerian yang sama.

“Sampai Desember masih berlangsung, dan pada saat pergantian, karena kebetulan SK terbaru itu baru terbit Januari, masih masa peralihan, jadi masih berjalan sampai Januari terakhir,” ujarnya.

“Dan Januari kebetulan ada beberapa website yang terblokir di masa peralihan tersebut. Jadi, dari 100 itu, tidak semua bisa dijaga,” tambahnya.

Meski sempat berhenti terlibat dalam praktik tersebut, Denden kembali aktif setelah berkenalan dengan terdakwa Muhrijan alias Agus.

Empat klaster terdakwa

Dalam perkara ini, terdapat empat klaster terdakwa yang terbagi berdasarkan peran mereka dalam perlindungan situs judi online:

1. Klaster koordinator

Terdakwa: Adhi Kismanto, Zulkarnaen Apriliantony alias Tony, Muhrijan alias Agus, dan Alwin Jabarti Kiemas.

2. Klaster eks pegawai Kominfo

Terdakwa: Denden Imadudin Soleh, Fakhri Dzulfiqar, Riko Rasota Rahmada, Syamsul Arifin, Yudha Rahman Setiadi, Yoga Priyanka Sihombing, Reyga Radika, Muhammad Abindra Putra Tayip N, dan Radyka Prima Wicaksana.

3. Klaster agen situs judol

Terdakwa: Muchlis, Deny Maryono, Harry Efendy, Helmi Fernando, Bernard alias Otoy, Budianto Salim, Bennihardi, serta Ferry alias William alias Acai.

4. Klaster Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Terdakwa: Darmawati dan Adriana Angela Brigita.

Para terdakwa dalam klaster koordinator dijerat dengan Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mereka juga dijerat Pasal 303 ayat (1) ke-1 serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).