MasterV, Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Papua Barat Daya, Paul Finsen Mayor, menyampaikan harapan agar Presiden Prabowo Subianto mengambil tindakan tegas terkait polemik penambangan nikel yang terjadi di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
MasterV, Jakarta – Paul Finsen Mayor, selaku anggota DPD yang mewakili Provinsi Papua Barat Daya, mengharapkan adanya intervensi dari Presiden Prabowo Subianto dalam mengatasi permasalahan penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
“Saya, Paul Finsen Mayor, sebagai senator yang mengemban amanah dari Papua Barat Daya, wilayah yang mencakup Raja Ampat, dengan ini mendesak Presiden Prabowo untuk bertindak tegas. Tindakan langsung dari Presiden sangat diperlukan,” tegas Paul, pada hari Senin (9/6/2025) seperti yang dilansir oleh Antara.
Paul juga menyoroti posisi sulit yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya dan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat.
Menurut pandangan Paul, kedua belah pihak mengalami kendala dalam melakukan intervensi terhadap perusahaan tambang nikel yang diduga kuat menyebabkan kerusakan pada keanekaragaman hayati di wilayah tersebut, mengingat wewenang pemberian izin tambang berada di tangan pemerintah pusat.
Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
“Dalam hal ini, saya sepenuhnya mendukung pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Oleh karena itu, jangan menyalahkan mereka, karena setelah Undang-Undang Minerba disahkan, pasal-pasalnya menyatakan bahwa kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat,” jelas Paul.
Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, praktik penambangan nikel di Raja Ampat jelas-jelas merupakan pelanggaran.
Menurutnya, proses pemberian izin merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan daerah.
“Dalam UU No. 1 Tahun 2014, tidak terdapat satu pasal pun yang memberikan legalitas terhadap kegiatan eksplorasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat. Prioritas pemanfaatannya hanya diperuntukkan bagi pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan kegiatan penelitian,” ungkap anggota DPD RI tersebut.
Paul menegaskan kembali bahwa Raja Ampat bukanlah kawasan biasa, melainkan wilayah dengan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi, memiliki biodiversitas laut terkaya dan paling beragam di dunia, bahkan telah diakui oleh UNESCO sebagai Global Geopark.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, turut meminta pemerintah untuk mencabut secara permanen izin tambang di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Permintaan ini muncul seiring dengan ramainya perbincangan mengenai dampak negatif penambangan nikel di wilayah tersebut.
Fahmy berpendapat bahwa setiap aktivitas pertambangan pasti akan menimbulkan kerusakan pada alam dan ekosistem di sekitarnya. Terlebih lagi jika perusahaan tambang mengabaikan kewajiban reklamasi pascatambang.
“Untuk kegiatan penambangan di Raja Ampat, meskipun dilakukan reklamasi, tetap saja akan merusak keindahan alam geopark yang merupakan ekosistem utama destinasi wisata Raja Ampat,” tegas Fahmy dalam keterangan yang diterima Liputanku, Senin (9/6/2025).
Dia pun mendesak agar seluruh aktivitas pertambangan di Raja Ampat dihentikan secara total. Selanjutnya, ia meminta pemerintah untuk tidak lagi menerbitkan izin tambang baru di kawasan tersebut.
“Menurut pandangan saya, semua kegiatan penambangan di Raja Ampat dan wilayah sekitarnya harus dihentikan secara permanen. Jangan sampai ada lagi izin penambangan yang diterbitkan di masa mendatang,” pungkasnya.