Putusan MK: SD-SMP Swasta Gratis, Ini Kata Pemerintah!

Admin

06/06/2025

6
Min Read

Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pendidikan SD dan SMP swasta menjadi gratis, pemerintah telah memberikan tanggapannya. Saat ini, pemerintah tengah mengkaji lebih dalam mengenai perintah yang dikeluarkan oleh MK tersebut.

Dilansir dari detikcom, Jumat (30/5/2025), putusan ini muncul sebagai hasil dari gugatan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), bersama dengan tiga pemohon individu: Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.

Fathiyah dan Novianisa berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Gugatan mereka tercatat dengan nomor perkara 3/PUU-XXIII/2025.

Alasan pengajuan permohonan ini adalah karena mereka menilai bahwa penggunaan anggaran pendidikan di beberapa daerah di Indonesia belum optimal. Sebagai contoh, dalam permohonan mereka, JPPI menemukan data pada tahun 2016 yang menunjukkan bahwa anggaran pendidikan tidak dialokasikan untuk program penuntasan wajib belajar di tingkat pendidikan dasar, melainkan lebih banyak digunakan untuk belanja tidak langsung.

"Berdasarkan data-data anggaran pendidikan dasar tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembiayaan pendidikan dasar, baik di sekolah swasta maupun negeri, sangat mungkin dilakukan dengan memanfaatkan 20% APB dan 20% APBD, dengan didukung oleh berbagai alasan yang kuat," demikian bunyi alasan yang diajukan oleh pemohon.

Adapun petitum yang mereka ajukan adalah sebagai berikut:

1. Mengabulkan Permohonan PARA PEMOHON;

2. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa "Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya" Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) Inkonstitusional secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar yang dilaksanakan di Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta Tanpa Memungut Biaya";

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, Apabila Majelis Hakim Konstitusi memiliki pendapat yang berbeda, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak termohon dalam gugatan ini adalah pemerintah. Pada intinya, termohon meminta hakim konstitusi untuk menolak seluruh pengujian yang diajukan oleh para pemohon atau untuk tidak menerima permohonan tersebut, dengan menyertakan sejumlah bukti yang diajukan oleh pihak termohon.

Namun, MK memiliki pandangan yang berbeda. Bahkan, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, yaitu permohonan yang meminta agar pendidikan dasar digratiskan.

Putusan MK

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat'," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan pada hari Rabu (28/5).

Pertimbangan MK

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpendapat bahwa frasa 'wajib belajar' minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas, yang hanya berlaku untuk sekolah negeri, menimbulkan kesenjangan. Akibatnya, menurut Enny, terjadi keterbatasan daya tampung di sekolah negeri, yang memaksa peserta didik untuk bersekolah di sekolah swasta.

"Sebagai gambaran, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Sementara itu, pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," jelas Enny.

MK berpandangan bahwa negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, menurut Enny, frasa 'tanpa memungut biaya' dapat menciptakan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih tinggi.

Bagaimana dengan Sekolah Kurikulum Internasional?

MK memberikan pengecualian dalam putusan ini. Pengecualian ini diberikan kepada sekolah swasta yang mengenakan biaya tinggi atau sekolah berstandar tinggi dengan kurikulum internasional atau keagamaan.

MK menyadari bahwa tidak semua sekolah atau madrasah swasta di seluruh Indonesia yang turut menyelenggarakan pendidikan dasar dapat dikategorikan sama terkait dengan kondisi pembiayaan yang menjadi latar belakang adanya pungutan biaya kepada peserta didik. Selain itu, beberapa sekolah atau madrasah swasta menerapkan kurikulum tambahan di samping kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti kurikulum internasional atau keagamaan, yang menjadi kekhasan atau 'nilai jual' (selling point) keunggulan sekolah tersebut.

Menurut MK, sekolah-sekolah semacam itu memengaruhi motivasi atau tujuan dari peserta didik yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah tersebut, sehingga warga negara yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah tersebut tidak sepenuhnya didasarkan atas tidak tersedianya akses terhadap sekolah negeri.

Dengan kata lain, menurut MK, orang tua peserta didik di sekolah swasta berstandar tinggi menyadari bahwa biaya sekolah di sana mahal. Oleh karena itu, menurut MK, putusan ini tidak berlaku untuk sekolah swasta seperti itu. Maka dari itu, MK meminta pemerintah untuk selektif dan memprioritaskan anggaran pendidikan ke sekolah negeri dan swasta dengan mempertimbangkan faktor peserta didiknya.

"Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tertentu. Oleh karena itu, dalam rangka menekan pembiayaan yang dapat membebani peserta didik, khususnya dalam pemenuhan kewajiban mengikuti pendidikan dasar, negara harus mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar, termasuk pada sekolah atau madrasah swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan faktor 'kebutuhan' dari sekolah atau madrasah swasta tersebut," demikian bunyi keterangan dari MK.

"Dalam rangka memastikan efektivitas bantuan pendidikan dari pemerintah dengan nama atau istilah apapun bagi peserta didik yang bersekolah di satuan pendidikan dasar pemerintah atau pemerintah daerah serta bersekolah di satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat (sekolah/madrasah swasta), Mahkamah berpendapat bahwa sepanjang berkenaan dengan bantuan pendidikan untuk kepentingan peserta didik yang bersekolah di sekolah/madrasah swasta, maka tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah/madrasah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan," jelasnya.

Hal ini bertujuan untuk menjamin bahwa sekolah atau madrasah swasta yang menerima bantuan pendidikan dikelola sesuai dengan standar yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta memiliki mekanisme tata kelola dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan, termasuk yang diperoleh dari bantuan pemerintah.

Sikap Pemerintah Terhadap Putusan MK

"Kami masih menganalisis keputusan MK," kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti saat dihubungi pada hari Rabu, 28 Mei lalu.

Mu'ti menjelaskan bahwa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) saat ini tengah melakukan analisis untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut. Mu'ti memastikan bahwa pihaknya akan segera mengumumkan hasil analisis tersebut.

"Belum ada keputusan yang bisa di-share ke publik," ungkapnya.